Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Anak Sapi Terakhir

Pada tahun 2011, saya pernah membuat parodi film Serigala Terakhir di catatan Facebook. Cast-nya diganti dengan saya dan teman-teman kuliah saya. Bayangkanlah kami sebagai wayang-wayang Opera Van Java memainkan lakon. Yah, walaupun kenyataannya, saya beda jauh dengan Vino G. Bastian. Saya lebih mirip Vino G. Bas Betot.

Beberapa adegan sadis di film aslinya sengaja saya buat konyol pada parodi kali ini. Semoga nggak kerasa kejam-kejam amat. Anggap aja film kartun. Enjoy! 

sumber: google image
***
Di kampung Bonakarta, kami menjalin persahabatan sejak kecil. Kami adalah lima anak sapi yang akan menguasai dunia. Kelompok kami terdiri dari Bang Feri, Ikhsan, Wisnu, Ari dan saya sendiri, Haris. Setiap hari, kami mampir ke toko-toko untuk meminta uang damai. Setiap hari yang kami lakukan hanya bernyanyi dan tertawa. Itu sudah cukup membuat kami bahagia.

Sebenernya, ada satu temen kami yang kebelet pengen gabung di geng, yaitu Alawi. Tapi terpaksa dia ditolak masuk geng kami. Sebab dia agak pikun karena sering ninggalin kunci motor di parkiran dan ngegotong-gotong motornya masuk ke minimarket.

Suatu hari, kami tanding bola melawan kampung tetangga yang dikomandoi Bang Goceng. Babak pertama kami sudah menang. Bang Feri berhasil mencetak gol. Ikhsan dan Wisnu sukses matahin kaki striker lawan pake sliding tackle ala si kembar Tachibana. Saya gak kalah hebat, saya hampir nendang tiang gawang lawan yang gak salah apa-apa. Iya, saya yang salah.

Di tengah pertandingan, Ari hendak mengeluarkan jurus andalannya, tendangan elang. Dia ngambil ancang-ancang dari RT sebelah, lalu dia lari kayak orang edan menuju lapangan dengan kecepatan lari setara dengan Gundala Putra Petir. Saat kakinya menyentuh bola, dari balik punggung Ari muncul elang animasi bikinan Indosiar. Ari teriak sampe urat-uratnya keluar. Elang itu mengepak-ngepakkan sayapnya lalu menerjang kiper lawan bersamaan dengan laju bola.

Dwi yang jadi kiper pun shock mendapat gempuran sedemikian sinting. Dwi berusaha menahan bola menggunakan kedua telapak tangannya agar tidak menjebol gawang. Tapi bola itu terlalu kuat untuknya. Saking kuatnya, baju Dwi sampe robek-robek, sarung tangannya pun gosong terbakar dan celananya melorot sampe gambar Sinchan di sempaknya keliatan. Dwi pun terpental ke belakang dengan busana compang-camping.

Bola pun sukses menjebol jaring gawang lawan.

"GOOOL!" Akhirnya, lengkap sudah kemenangan kami. 69-0. Kami berjaya. Kami berkuasa. Kami berselebrasi. Kami pun motong tumpeng dan melepas burung merpati. Sejurus kemudian, balon-balon beterbangan. Rumah-rumah tercabut dari pondasinya. Pohon-pohon tumbang. Sapi gelonggongan muter-muter di pusaran angin seperti di film Twister.

"SAOS TARTAR!" umpat Bang Goceng. "Kalian curang! Kalian pasti main dukun! Kalian pasti minta bantuan Dokter Boyke! Gue gak terima dengan hasil pertandingan ini!"

"Ah, enggak kok. Kita cuma makan Biskuat," ujar Bang Feri sambil menepuk-nepuk telapak tangan sahabat-sahabat kentalnya.

"KAMBING KALIAN SEMUA!" Bang Goceng murka. Dia bawa-bawa kapak kayak di film Scream. Terus dia hendak memenggal kepala Bang Feri.

Gawat! Bang Feri dalam bahaya!

"JENGGOT MERLIN!" Saya ngambil batako terus digebukin ke kepala Bang Goceng.

GEDEBUK!

Batakonya patah jadi dua.

"Gak sakit, gak sakit." Bang Goceng melet. Tampangnya girang banget.

Saya buru-buru ngambil mp3 player dan memasangkan headset ke kuping Bang Goceng. Diputarlah lagu Juminten dari Kangen Band.

BUGH!

Bang Goceng langsung kelenger. Bintang-bintang berjatuhan dan burung-burung kecil berputar-putar di kepalanya.

Sirine mobil polisi pun terdengar dari kejauhan.

***

Singkat cerita, saya ditangkap oleh Briptu Norman untuk digiring ke kantor polisi. Saya akan dipenjara, tapi bukan karena bikin kepala Bang Goceng bocor. Melainkan karena saya telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan cara memperdengarkan lagu sembarangan kepada telinga warga sipil secara terencana dan disengaja.

"Kamu bukan anak saya! Jangan pernah kamu menginjakkan kaki di rumah ini lagi! Pergi. Pembawa sial!" kata Bapak ketika saya diborgol oleh Briptu Norman.

"Kenapa kamu melakukan ini semua, Ris?" Emak mengurut dada. Dada pasien. Emak emang tukang urut. Di samping pasien yang sedang diurut Emak, ada adik perempuan saya, Uwi. Uwi minta diurut juga. Lehernya kecengklak, katanya.

Di saat saya digelandang ke kantor polisi, kenapa keluarga saya begini amat ya? Asyik urut-mengurut.

Lalu saya meninggalkan keluarga saya dengan dikawal Briptu Norman dan Inspektur Vijay. Di perjalanan, saya berpapasan dengan adik Bang Feri, Titi. Dia baru pulang dari kursus menyetir bersama Nyonya Puff. Saya hanya bisa memandangnya dengan tatapan nanar. Air muka Titi tampak bertanya-tanya. Dan saya menjawabnya dengan mimik menyesal.

Di penjara, saya dianiaya, dijambak, dicubit, dikelitikin dan dijewer oleh Bang Narji. Bang Narji sangat jahat dan selalu bully saya tiap hari. Puncaknya, dia masukin jarinya ke lubang idung saya. Ini sebuah penghinaan! Saya gak terima. Kalo cuma digebuk, saya gak bakal nangis. Tapi kalo diupilin, saya bisa nangis kejer sampe air mata muncrat kemana-mana. Hanya jari-jari saya yang boleh memasuki lubang idung saya sendiri.

Besoknya, saya bales dendam. Waktu Bang Narji lagi ngorok, saya masukin pensil 2B ke lubang idungnya. Bang Narji pun kelojotan. Saya ketawa monster. Puas.

Selama di penjara, gak ada yang ngejenguk saya. Bang Feri, Ikhsan, Wisnu dan Ari seakan amnesia. Mereka lupa kalo punya saudara yang lagi mendekam di balik jeruji penjara. Temen ngeband saya, Nugie juga gak nengokin. Apalagi temen SMA saya, Agni dan Alde. Mereka berdua pasti lagi bikin film dokumenter. Bahkan Jani juga gak inget kalo suaminya dikerangkeng.

Sebentar... Itu kayaknya lawan main saya di film yang lain deh! Ini bukan Realita, Cinta dan Anak Sapi, ya! Apalagi Catatan Akhir Anak Sapi atau Anak Sapi dan Jani. Bukan. Ini Anak Sapi Terakhir. Fokus, Vinokio!

***

Tiga tahun kemudian, saya dibebaskan dari penjara berkat tebusan Alawi. Ya, sekarang Alawi bergabung dengan kelompok Ulat Bulu Pink yang dipimpin oleh Bos Imal. Kemudian, saya direkrut menjadi salah satu anggotanya. Saya bertugas mengedarkan cilok berformalin dan agar-agar dengan bahan pewarna tekstil di Kampung Bona.

Suatu hari Ari menyelinap ke markas Ulat Bulu Pink. Dia hendak membalas dendam.

"Kenapa lo ngebunuh adek gue? Kenapa, hah? Adek gue mati overdosis cilok!" Ari nangis sambil menodongkan piso ke leher saya. "Padahal gue udah capek-capek ngebiayain dia kuliah! Tiap hari gue ngasih makan dia pake pempek sama donat buatan mamahnya Ikhsan. Biar dia pinter dan bisa lebih baik derajatnya dibanding kita! Biar dia bisa berdakwah keliling dunia!"

Alawi sibuk merhatiin kita berdua dari jauh.

"Bukan saya yang bunuh, Ri! Sumpah berani diseruduk anak sapi! Bukan saya." Saya gemeteran nahan pipis.

Tapi Ari tidak mau mendengarkan. Dia hendak menancapkan pisonya ke jidat saya.

DOR!

Alawi niup ujung pistolnya yang ngebul. Dia baru saja menembakkan peluru panas ke kuping kiri Ari sampe nembus ke kuping kanannya. Ari pun mati berdiri.

Saya langsung nangis kejer garuk-garuk tembok WC. Sahabat terbaik saya mati dengan kuping bolong.

Lalu Alawi masukin mayat Ari ke kardus Indomie. Badan Ari ditekuk-tekuk biar muat di kardus. Terus kardus itu dibuang ke Kampung Bona.

Sejak ditemukannya mayat Ari di pinggir kali, kelompok Bang Feri resmi menyulut api perang dengan kelompok Ulat Bulu Pink. Dimulailah pertikaian itu. Puncaknya, adik saya, Uwi dipacari oleh Ikhsan, lalu ditinggalkan begitu saja setelah dibikin bahagia. Wisnu pun sempat mendekati Uwi tapi hanya sebatas teman saja. Wisnu tidak mau nembak Uwi. Uwi merasa jadi korban PHP. Setelah itu, kerjaan Uwi tiap hari cuma melongo di balik jendela kamar. Uwi stress berat.

Kena PHP dua kali, gimana gak stress coba?

Saya marah mendapati adik kandung saya diperlakukan semena-mena oleh Ikhsan dan Wisnu.

"Kenapa mereka tega membunuhmu dengan cinta?" tanya saya kepada Uwi yang masih bengong. Uwi gak jawab karena masih cengok tak berkesudahan.


Lalu saya menangkap Wisnu dan Ikhsan. Saya menyekap mereka di markas. Saya marah-marah kepada keduanya yang ditawan pakai borgol warna pink. Sampai akhirnya mulut saya capek dipake ngoceh gak jelas, Alawi pun mentung kepala dua sahabat itu sampe gepeng. Matilah dua cangcorang itu dengan kepala mingslep.

Tanpa sepengetahuan Bang Feri, saya sering ngajak Titi main ke Dufan. Saya dan Titi pernah naik wahana bareng. Naik Hysteria bareng. Teriak bareng. Jantungan bareng. Muntah bareng. Jatuh dari Tornado bareng juga pernah.

Sampai akhirnya, bangkai tercium juga. Bang Feri tau kalo adiknya sering ketemuan sama saya yang udah jadi musuh besarnya. Alawi juga gak suka saya berhubungan sama adiknya Bang Feri.

Alawi curiga kalo Titi adalah mata-mata musuh dan berpotensi ngancurin kelompok Ulat Bulu Pink. Maka, Alawi memutuskan ngedorong motor Titi sewaktu tes praktek SIM C. Titi pun jatuh dan muntah darah. Titi mati seketika. Saya nangis lagi sampe masukin kepala ke tong sampah. Sebab saat itu Titi sedang mengandung anak haram saya.

Singkat cerita, saya dan Bang Feri saling bunuh. Kami saling menyalahkan atas kematian orang-orang terdekat kami.

"Gara-gara kamu orang, semua orang mati!" teriak Bang Feri sembari menepak jidat saya. "Kenapa kamu orang gabung dengan Ulat Bulu Pink dan menghianati kita orang?"


"Orang gak kena! Wooo!" ucap saya ketika Bang Feri heran kenapa saya gak merasa sakit padahal sudah dipukuli.


Kami bergumul seru kayak anak sapi rebutan rumput segar. Bang Feri bawa pistol dan menodongkannya ke arah saya. Tapi, naas, sebelum menarik pelatuk, Bang Feri keburu mati ketembak. Yang menembak Bang Feri adalah Alawi.

Saya juga mau ditembak oleh Alawi. Tapi berhubung Alawi agak pikun, dia malah masukin moncong pistol ke mulutnya sendiri.

DOR!

Alawi pun mati dengan mulut menganga. Sampe-sampe saya bisa ngeliat tembus pandang dari mulutnya yang bolong. Dan saya masih bertahan hidup sebagai Anak Sapi Terakhir.

Moral of the story: Di dunia ini selalu ada kebaikan, demikian juga kejahatan. Kebaikan belum tentu menang dan kejahatan belum tentu datangnya dari Bunda Dorce. Kita adalah Anak Sapi untuk diri kita sendiri. Selalu ada dendam yang berasal dari Nyi Pelet. Selalu ada bisul yang harus dipencet. Perang harus dihentikan.

Komentar

  1. Ahhh.... Alawi, alawi... sungguh melas skali dikau...
    Pesan moralnya jleb :D

    BalasHapus
  2. Hahahahhaa haris ini pintar banget bikin cerita, rasanya kayak lagi di acara dongeng-dongeng haha ini kalo buat bahan dongeng anak-anak kecil di kampung, niscaya keesokan minggunya Kak Seto akan datang bersama Pemuda Pancasila dan Para anggota FPI, buat menekel semuanya haha

    Ceritanya kacau, alurnya juga kacau, tapi bagus hahaha

    BalasHapus
  3. Huahaha lagu yang judulnya juminten lebih mematikan daripada di pukul pake batu bata. Lengkap banget dari mulai tsubatsa, spongebob , cilok berformalin, bahkan jani pun ada. Kocak pisan, anak sapi terakhir. Pesan moralnya keren (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wehehehe. Pesan moral begitu dibilang keren. :D
      Makasih ya. :)

      Hapus
  4. Seharusnya abng yg mati bang
    Bukan alawi
    Bikin lagi bang ceritanya dr alawi lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya mati, gak bisa jadi tokoh utama cerita dong, Nik. :D

      Hapus
  5. Yahh bang, kok haris si anak sapinya gak ikut mati sih???
    Konspirasi macam apa ini?
    Muahahahahaha

    Eh tapi jangan deh, anak sapi terakhir bisa buat kurban idul adha depan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahaha. Jangan dong. Nanti gak bisa cerita. :D

      Disembelih dong. :p

      Hapus
  6. Skornya 69-0. Ya ampuuun. Haha.

    Imajinasi Bang Har tinggi. Trus tragis nasibnya Dwi si kiper ya, Bang. Gimana jadinya kalau Dwi pake lingerie. Pasti dia seksi banget trus malah digangbang sama Ale cs. *ini apa dah*

    Aku belum pernah nonton film Serigala Terakhir, Bang. Huhuhu. Trus tadi cari sinopsisnya, dan kayaknya aku tau kenapa Bang Har pilih jadi Jarot perannya Vino G Bastian. Karakternya Vino disitu kayaknya introvert cool gitu ya, Bang. Mirip Bang Har cool-nya, cool suka foto pose sedekap :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaak Bang Feri cs maksudnya. Huahaha maap ya, Bang. Jadi kecampur sama yang asli :|

      Hapus
    2. Maklumin ya zaman dulu kalau berkaitan angka, selalu ngeluarin 69. Yin dan Yan.

      Eh, sinopsis di wiki ternyata nyeritain sampai ending ya. Gak perlu nonton filmnya, Cha. :D

      Hapus
  7. Hahahahah... anak sapi... jadi kangen gw sm anak anak sapi.pasti sekarang udah pada jadi sapi abege.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahaha. Kenapa namanya blogger kesepian, bang feri?

      Hapus
  8. Hahaha Inspektur Vijay itu melegenda sekali yah. Wkwk. Skornya luar bisa 69-0, uhlala padahal cuma modal makan Biskuat doang. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Legenda dari India.

      Cerita ini dibuat ketika iklan Biskuat sedang ngehits. :D

      Hapus
  9. Untung alawi yang pikun, kalau engga, bisa-bisa dia yang jadi anak sapi terakhir. Mantep ris, liar lah imajinasinya :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ngikutin yang asli, emang Alawi yang bertahan sebagai serigala terakhir. Untunglah, saya kasih watak pikun, jadi bisa bikin plot-twist di ending. :D

      Hapus
  10. Ini beneran tulisan bang Haris pada tahun 2011 ?? Nggak diedit-edit kan bang ??
    Kok sekilas mirip gayanya Niki ya ?? Apa jangan2 Niki baca catatan facebook bang Haris, trus dia jadi terinspirasi kek gitu. Hmmmm.

    Mati gara2 denger lagu Juminten, harusnya Haris gak dipenjara. Yang dipenjara Andika aja. Eh udah dipenjara ya dia??
    Yawloh Anak Sapi terakhir ?? Padahal kalian kan nggak gembul2 jugaa~~
    Parodi yang super absurd, Vino saking kebanyakan maen film jadi lupa casting. Hahaha ngakak !!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya baru baca post di blog Niki. Anjay. Ngayal banget ya. Ada bagian keselek meteor itu yang bikin ngakak.

      Hapus
  11. Wah film parodi, berarti ada versi film nya dong bang. Pengen nnton walaupun nilai moralnya agak jauh. Kkk

    BalasHapus
  12. Ini sungguh anak sapi...
    Tapi apa masih lagu kangen band jadi racun sampe sekarang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Saya juga tau lagu itu dari Dana peserta SUCI Kompas TV. :D

      Hapus
  13. Aku sakit perut Ya Allah baca ini. pengen gebuk yang nulis.

    BalasHapus
  14. Hahahahahaaa udah bang ampuuun. Aku nggak kuat ketawa mulu. Apalagi yang pas ada lagu jumintennya kangen band.

    Hahahhaaa Ini kok kayak tulisan bg Niki ya bang. Kocak bener tulisan bg Har di 2011.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin sewaktu saya nuli sini seumuran dengan Niki sekarang. Wahahaha.

      Hapus
  15. Ending-nya kok berubah, Ris? :(

    Gak sekalian masukin Vino yang jadi homo di 30 Hari Mencari Cinta? Bahaha. XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, namanya juga parodi. :(

      Wahaha. Saya aja lupa! Inget aja kamu, Yog.

      Hapus

Posting Komentar