Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Sekarang John Green jadi penulis favorit
saya. Hebatnya John Green bisa bikin saya tertarik untuk membaca semua bukunya
yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
1. Looking for Alaska
Ini novel pertama John Green. Bercerita
tentang si culun Miles Halter yang menyukai kata-kata terakhir dari orang
terkenal sebelum mereka meninggal. Dituntun oleh kata terakhir dari penyair
bernama Francois Rabelais, Miles memutuskan untuk pindah ke sekolah asrama. Di
sekolah asrama itulah Miles bertemu dengan cewek nyentrik bernama Alaska Young.
Miles jatuh cinta dengan Alaska, tapi Alaska sudah punya pacar.
Cara Miles menceritakan pesona Alaska
Young bikin saya ikut jatuh cinta dengan cewek ini. Alaska punya hobi aneh:
membeli banyak buku obral untuk memenuhi lemarinya. Rencananya, Alaska akan
membaca koleksi bukunya ketika sudah menjadi nenek-nenek sebagai pengisi waktu
di usia senja. Alaska juga seorang feminis yang benci dengan cowok yang
menjadikan cewek sebagai objek.
Looking for Alaska menjadi novel John
Green terbaik versi saya. Sosok Alaska telah mencuri hati saya. Alaska memang
bukan cewek sempurna. Bahkan dia termasuk cewek nakal yang pergaulannya
kebablasan. Tapi sebagai remaja, Miles tidak banyak perhitungan dengan itu.
Karena jatuh cinta memang semudah itu. Walaupun kasus jatuh cinta yang dialami
Miles penuh dengan teka-teki. “Apakah dia juga mencintaiku? Apakah dia
sebenarnya sudah bosan dengan pacarnya dan sedang memikirkan cara agar bisa bersama
denganku?”
Jatuh cinta seperti terjebak di dalam
labirin. Tapi jatuh cinta adalah cara terindah untuk merayakan kehidupan.
2. Paper Towns
Quentin bertetangga dengan gadis ajaib
bernama Margo Roth Spiegelmen. Sebagai sesama bocah yang kebetulan rumahnya
berdekatan, mereka sering bersepeda berdua keliling kompleks. Tapi Q menjadi
tidak akrab dengan Margo setelah Margo iseng mainan mayat. Q yang taat aturan
pun memilih jalan yang berbeda dengan Margo yang pemberontak. Margo tumbuh
menjadi remaja gaul nan adorable. Q tentu saja bertahan dengan stigma culun
yang sudah disandangnya sejak belia.
Sampai di satu malam, Margo mendatangi Q
yang sudah tertidur pulas. Margo nyelonong masuk ke kamar Q lewat jendela
seperti maling. Lalu Margo mengajak Q bertualang menjalani satu malam mendebarkan
yang tak terlupakan. Q yang biasanya main aman mendadak nakal bareng Margo.
Tapi setelah bikin Q bahagia semalam, Margo menghilang keesokan harinya. Tugas
Q setelah itu adalah mencari Margo dengan mengumpulkan petunjuk-petunjuk
misterius yang ditinggalkan.
Menurut saya, Paper Towns versi novel
lebih keren daripada adaptasi filmnya. Jika di film Margo yang diperankan oleh
Cara Delevingne terkesan bengis sebelas-duabelas dengan Summer Finn. Di novel,
Margo hanyalah seorang gadis biasa yang isi hati terdalamnya menyimpan kejutan
dan kepedihan.
Q mengagumi Margo dengan bermain
angan-angan. Bahkan, terkesan Q tidak benar-benar mencintai Margo, melainkan
mencintai angan-angannya sendiri tentang Margo. Nerd to the max.
3. The Fault in Our Stars
Augustus Waters, seorang mantan pemain
basket yang diamputasi satu kakinya, jatuh cinta dengan remaja pengidap kanker
bernama Hazel Grace Lancaster. Di sebuah kelompok pendukung, keduanya
dipertemukan. Kemudian mereka saling mengenal dengan cara bertukar bacaan. Gus
jadi menyukai buku kesayangan Hazel. Hazel pun jadi keranjingan baca novel
berseri favorit Gus.
Walaupun tak sempurna, Gus mampu mencintai
Hazel dengan cara yang sempurna. Gus mewujudkan mimpi Hazel untuk bertemu
dengan penulis idolanya, Peter Van Houten (yang sepertinya tidak ada
hubungannya dengan Charly Van Houten). Gus merelakan mimpinya dibajak oleh
Hazel asalkan Hazel bahagia.
Walaupun ini sicklit, entah kenapa terasa
menyenangkan dibaca. Tokoh-tokohnya terkesan humoris kendati punya penderitaan
masing-masing. Kesakitan dirasakan dengan sarkasme yang lucu.
Khas seorang nerd dalam mencintai, Gus
menjadikan Hazel sebagai satu-satunya dan prioritas utama. Hazel adalah pusat
tata surya bagi Gus.
4. An Abundance of Katherines
Colin Singleton selalu jatuh cinta dengan
cewek bernama Katherine. Semua mantan pacarnya bernama Katherine dan kesemuanya
mencampakkannya. Katherine terakhir yang dikencani Colin membuatnya ingin
benar-benar move on. Move on secara harfiah. Colin memutuskan hijrah bersama
sahabatnya yang beragama Islam, yakni Hassan. Colin nekat melakukan road
trip untuk menyembuhkan patah hati terbaiknya.
Colin menyukai matematika dan anagram.
Permainan angka dan huruf adalah keahliannya. Dengan mengeksplorasi
kejeniusannya, Colin berambisi menemukan rumus untuk kisah cintanya. Dengan
formula asmara itu, Colin bisa tahu kapan dia akan dicampakkan oleh Katherine
berikutnya. Sehingga nantinya Colin bisa sedikit waspada sebelum patah hati.
Saya merasa relate dengan
Colin karena saya juga beberapa kali kepincut cewek dengan nama sama. Premis seaneh
itu bisa terjadi di kehidupan nyata. Dibanding buku John Green lainnya, saya
setuju jika ada yang bilang novel ini adalah the least favorite book of
John Green.
Colin memang nerd sejati. Dia merasa bisa
menang dalam cinta dengan mengerahkan kelebihannya di bidang keilmuan. Padahal
belum tentu.
5. Let It Snow
Novel keroyokan yang ditulis tiga penulis
kondang Amerika, yakni Maureen Johnson, John Green dan Lauren Myracle. Berkisah
tentang tiga remaja yang mengalami malam Natal mengesankan. Satu malam yang
akan mengubah hidup masing-masing. Semua konflik cerita bermula dari salju yang
turun dengan deras.
Adalah Tobin, tokoh utama culun yang
dicipta oleh John Green. Tobin bersahabat dengan The Duke si gadis tomboy dan
JP si remaja Korea. Ketiganya berkendara menerjang salju menuju tempat para
cheerleaders berpesta. Dalam perjalanan, tiga serangkai ini mengalami peristiwa
seru yang akan mengubah jalinan persahabatan mereka.
Saya cukup menyukai novel kolaborasi ini.
Novel yang bisa bikin saya senyam-senyum setelah menamatkannya.
Tobin si penggemar film James Bond dalam
cerita A Cheertastic Christmas Miracle sangatlah nerd. Nerd
yang saking sempit lingkup pertemanannya, sampai-sampai jatuh cinta dengan
teman segengnya sendiri.
6. Will Grayson, Will Grayson
John Green duet dengan penulis gaylit
David Levithan. Keduanya menulis dengan sudut pandang Will Grayson. Will
Grayson yang berbeda. Satu Will Grayson, satunya will grayson. Dua cowok
bernama sama, tapi dengan orientasi seksual berbeda. Keduanya bertemu di satu
malam yang mengejutkan.
Anehnya, saya lebih suka dengan gaya
bercerita will grayson dengan huruf kecil yang kebetulan seorang gay. Gay yang
lucu. Will Grayson milik John Green malah terasa biasa saja. Tipikal tokoh utama culun rekaan John Green.
Will Grayson versi John Green cukup nerd.
Saking culunnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika jatuh cinta
dengan cewek. Dan Will hanya punya satu sahabat karib, Tiny Cooper si raksasa
homoseksual.
Itulah starter
pack dari novel John Green: tokoh utama nerd, cerita bermuatan kenakalan
remaja khas Amerika dan persahabatan lintas SARA.
(((persahabatan lintas SARA)))
BalasHapusBaru berhasil baca An Abundance of Katherines dan Will Grayson. Terus sudah nonton The Fault in Our Stars dan Paper Towns, berarti kemungkinan besar nggak akan baca bukunya lagi (so little time, u yeah!). Jadi yang akan masuk readlist tinggal Looking for Alaska!
Rido mesti baca Looking for Alaska.
HapusBedain Will Grayson kok gitu amat, ya. Satu huruf biasa, satu huruf kecil. Yang huruf kecil homo pula. Padahal kan hurufkecil itu Aan Mansyur.
BalasHapusSeharusnya mah beda kayak H. Firmansyah dan N. Firmansyah. Yang N itu artinya normal dan punya nama gaul: Immank. Yang H itu homo. Itu baru mantap! Hehehe. Cnd.
Cukup lucu! H itu hero ya.
HapusH-nya itu... Hehehe cnd.
HapusPengen baca yg paper towns deh, btw, saya belum sekalipun baca novel si om Jhon..
BalasHapusKira2, masih banyak beredarkah?
Kalau di toko buku online udah jarang yang ready stock. Saya carinya di Tokopedia dan Bukalapak, Ian.
HapusDulu waktu beli TFiOS di Gramedia udah ngincer Paper Towns juga. Eh, gara-gara baca itu sampe satu semester, jadi nunda baca Paper Towns.
BalasHapusAyo dibaca Paper Towns-nya juga. :D
HapusWah lama-lama bisa nyaingin si Akang Rido nih dalam dunia per-ripiyu-an buku.
BalasHapusRis, dilihat dari foto, kayaknya koleksi buku kamu banyak banget. Sampe numpuk berjajar gitu. Coba sini bagi lah komiknya...
Saya hanya terinspirasi kok.
HapusMau komik apa cees?
Ada yang minat bikin komunitas nerdfighter Indonesia nggak? Atau malah udah ada?
BalasHapus