Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

24

Yang tahun lalu ngundang ke acara nikahan, sekarang ngundang ke acara akikahan. Akikah anak kedua. Wah, waktu cepat sekali berlalu ya. Satu-persatu teman di kontak WhatsApp berubah menjadi bayi. Dunia seperti dibajak oleh kaum balita. Kamu merasa sendirian. Tua dan lelah. Teman sekolah yang nggak ada kabarnya, tiba-tiba datang lagi. Kirain kangen aja, eh, selesai nostalgia, kasih undangan. Undangan akikah anak kedua. Kapan nikahnya nih? Kok tiba-tiba? Kamu merasa sendirian. Bosan dan kesepian. Kamu mencoba bersenang-senang dengan menjelajahi kota-kota. Menikmati hidup dengan bertualang dan melucu, lalu tertawa. Tapi ketika pulang ke rumah, kamu kembali disergap rasa yang sama. Kamu merasa sendirian. Stuck dan tersesat. Di umur hampir seperempat abad ini, kamu merindukan masa kecil. Sebab masa-masa itu sangat indah dan mudah. Karena saat itu kamu tidak perlu memusingkan cicilan rumah dan tabungan untuk modal nikah. Tidak perlu memandang seorang gadis dengan mesin pendetek

Menggarong di Tenggarong

Setelah saya cocol manja pundaknya sekitar tujuhbelas kali, akhirnya Icha terbangun. “Eh sorry, sorry. Sampai mana ini?” tanya Icha gelagapan. Ternyata Icha ketiduran karena merasakan sejuknya angin sore itu. “Sampai jumpa Minggu depan,” jawab saya kalem. “Ya mana saya tahu?! Pikirkan sendiri.” Saya masih terus mengegas. Baik mengegas dalam berkendara, maupun berbicara. Max dan Kak Ira semakin jauh di depan karena sepeda motor yang mereka naiki bermerek Yamaha. Sementara Bang Hendra sudah tidak kelihatan batang knalpotnya. “Eh salah! Salah jalan! Belok, belok,” instruksi Icha. Saya manut, menyalakan sein kiri, lalu belok kanan. “Eh salah! Benar yang tadi. Maaf, maaf,” ralat Icha. Saya kembali ke jalan yang benar. Tak terasa meneteslah keringat sebiji ketumbar di dahi saya. Saya langsung ngajak ngobrol Icha supaya dia nggak ketiduran lagi. Sampai akhirnya, saya menyaksikan jalanan di depan. Sebuah tanjakan mengerikan yang nggak saya temui di Cilegon. Say

Naik Kangaroo ke Samarinda

Butuh waktu sekitar 3 jam dari Balikpapan ke Samarinda dengan naik Kangaroo. Bukan. Bukan kanguru beneran yang saya naiki. Ini Kalimantan Timur, Brother! Bukan Australia. Walaupun memang kebayang serunya kalau naik kanguru betulan. Saya masuk kantung kanguru, terus diajak loncat-loncat menyusuri Bukit Suharto. Yang saya naiki adalah travel Kangaroo   Premier. Sebuah perusahaan transportasi yang mengedepankan keselamatan, kenyamanan dan ketepatan waktu dalam perjalanan.   Jadwal keberangkatan reguler Kangaroo Premier beroperasi setiap 10 menit. Mulai pagi hari hingga malam hari , dari shelter yang ada di kota Balikpapan menuju shelter yang ada di kota Samarinda. Begitu pula sebaliknya. Informatif, huh? Setengah perjalanan saya habiskan dengan tidur pulas seperti bayi pemalas. Entah karena bangkunya nyaman atau saya emang kecapekan. Padahal di depan mata ada TV layar datar yang menayangkan film animasi Pixar. Tapi karena saya udah pernah nonton filmnya, jadi saya