Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Guardians of the Galaxy J1 Ace

Awal dari semua cerita ini adalah ketika saya pakai Smartfren G2 Qwerty. Ponsel di bawah 1 juta rupiah (tepatnya Rp 999.000,-) yang sesuai kebutuhan saya. Dengan ponsel ini, saya biasa ngetik sinopsis dan ide cerita untuk skenario sitkom & sinetron komedi. Ponsel dengan keypad fisik begini memang memudahkankan saya dalam pengetikan. Cukup efektif apabila dibandingkan ngetik di touchscreen yang kerap bikin saltik.

Di bulan puasa tahun 2016, saya menemani teman saya yang bernama Erik beli ponsel di ITC Roxy Mas, Jakarta. Berawal dari menemani, saya sendiri jadi kepengen beli. Waktu itu saya sudah uninstall segala game di Smartfren G2 Qwerty biar nggak berat, dan menyisakan WhatsApp dan aplikasi WPS Office untuk ngetik. Saya membatin, “Seru juga ya kalau bisa main Clash Royale lagi.”

Akhirnya, saya memutuskan beli Vivo Y21 seharga 1,5 juta. Tujuan gawai ini dibeli untuk entertainment. Biarlah komunikasi, chatting, social media dan segala hal yang membutuhkan ketikan cepat pakai Smartfren G2 Qwerty. Sementara main game, nonton Youtube dan segala kebutuhan hiburan khusus pakai Vivo Y21.

Waktu itu, toko-toko di Roxy Mas hampir tutup, Erik sudah deal beli Oppo dan sedang mengurus asuransi dan tetek-bengek lainnya. Saya yang tiba-tiba berubah pikiran langsung ngibrit ke stand Vivo. Para SPG Vivo yang berpakaian biru Twitter sudah gotong-gotong banner stand. Saya dekati mas-mas Vivo yang sedang cengar-cengir dan siap-siap mau pulang, saya bilang padanya, “Saya mau beli HP yang harga 1,5 juta itu, Mas!”

Selanjutnya, mas-mas Vivo itu tambah lebar cengar-cengirnya ketika menyiapkan produk agar bisa langsung digunakan oleh saya. Dari air mukanya yang ceria, dia seperti tak menyangka dapat peningkatan sales di injury times. Nggak perlu narik-narik tangan calon customer, eh, disamperin langsung sama cowok planga-plongo.

Keluar dari Roxy, saya dan Erik menenteng box berisi hengpon baru. Sementara teman kami satunya, Ari yang bekerja sebagai pegawai bank, hanya menenteng kantong plastik berisi sisa gorengan buka puasa.

“Dilihat dari barang bawaan udah jelaslah ya kerja di bank itu nggak selamanya bergelimang harta,” ucap saya tawadhu.

“Kami belum dapat THR tapi udah kebeli HP. Pegawai bank udah dapet bonus cuma kebeli gorengan,” imbuh Erik.

Mendengar sesumbar kami, Ari cuma cengar-cengir sembari lanjut mengudap tahu pedas.

Di perjalanan pulang, saya langsung install game Clash Royale dan kembali memainkannya dengan masyuk. Tidak hanya Clash Royale, dengan Vivo Y21, saya juga memainkan beberapa game yang sempat saya singgung di blog. Dengan fitur screen recording, saya bisa bikin video sedang main Clash Royale dan diunggah di Youtube sebagai ‘vlog’. Pokoknya, kebutuhan hiburan saya terpenuhi dengan Vivo Y21.

Sampai akhirnya, saya bertemu Yoga A., Dian dan Robby di KFC Cikini. Dalam sesi obrolan, Dian membanggakan kartu selulernya yang sering memberi bonus kuota 4G sehingga Dian bisa download film ilegal secara leluasa di website penyedia film non original. Sebagai pengguna ponsel yang sinyalnya mentok di 3G, saya bertanya-tanya, “Apa itu 4G?”

Saya menanyakan perihal 4G ini ke Erik, ternyata ponsel Erik sudah 4G. Saya tanya Ari, ponsel Ari juga sudah 4G. Apakah di dunia ini hanya saya yang masih memakai ponsel 3G yang seringnya bersinyal EDGE?

Selama ini saya beli paket kuota memang sering dapat kuota 4G. Tapi karena ponsel saya baru bisa 3G, kuota 4G itu tak terpakai. Mubazir. Kemudian saya memutuskan untuk beli ponsel 4G. Karena saya nggak punya uang banyak, saya berniat menjual Vivo Y21 ini dengan sistem tukar-tambah. Saya mengunjungi konter tempat saya beli Smartfren G2 Qwerty di Supermall Cilegon, tapi mbaknya tidak menerima. Karena bukannya jual HP, saya malah menyatakan cinta. Wajar, kalau manusia seperti saya sering ditolak oleh orang lain.

Setelah ketemu konter yang ‘bener’, banyak pengguna Vivo yang jadi pengguna Samsung. Salah satunya saya. Saya rela melepaskan Vivo Y21 untuk memboyong Samsung Z2. Plus saya nambah kasih duit 250 ribu ke penjaga konter. Tak lupa saya bilang kepada Vivo Y21 yang saya jual itu, “Maaf untuk keputusan ini.”

Akhirnya, saya punya ponsel 4G. Saya akan segera melumat habis kuota 4G yang selama ini mengendap dan tersisihkan. Tapi setelah cek daleman Samsung Z2, saya kecewa berat. Ternyata operating system (OS) Samsung Z2 ini adalah Tizen. Bukan Android. Gokil. Saya langsung stress mendadak. Tizen digadang-gadang sebagai OS masa depan. Tapi saya kan hidup di masa kini. Peduli amat kalau di masa depan nanti OS Tizen ini ngehits. Itu urusan nanti. Yang penting sekarang, gimana saya bisa download aplikasi kekinian kalau Play Store-nya aja nggak ada?!

Saya tes menelepon pakai ponsel ini, terdengar suara speaker yang sember. Suara bapak saya di seberang sana terdengar seperti suara bapaknya orang lain. Daripada saya teruskan pakai ponsel ini tapi bikin saya lupa orang tua, lebih baik saya komunikasi dengan keluarga menggunakan budaya surat-menyurat via burung gagak. Mau menghabiskan kuota 4G dengan nonton Youtube pun suara yang keluar dari ponsel terdengar nggak enak. Fix, saya telah melakukan keputusan yang salah.

Besoknya, saya songsong konter yang menjual ponsel ber-OS Tizen ini. Saya hendak membatalkan transaksi jual-beli kemarin. Saya menyesal.

“Mas, saya mau jual HP ini. Soalnya nggak ada Play Store. Udah gitu, suaranya nggak jernih. Kena berapa ya?” tanya saya malu-malu.

“550 ribu,” jawab penjaga konter cepat.

“Nggak bisa lebih? Kan kemarin belinya hampir sejuta,” tawar saya.

“Memang segitu pasarannya.” Penjaga konter tampak tidak tertarik.

“Kan baru sehari. Belinya juga di sini. Belum diapa-apain ini, Mas,” melas saya.

“Kalau udah buka segel ya harganya turun. Dianggapnya udah tangan kedua. Kenapa nggak dipakai aja sih?”

“OS-nya bukan android dan suaranya sember, Mas,” ulang saya.

“Ya memang begitulah HP model begitu. Lagian kenapa kemarin jual Vivo? Padahal bagusan Vivo daripada HP ini,” ucap penjaga konter makin membuat saya merasa menyesal.

“Jadi, beneran nggak bisa naik harganya, nih, Mas?” harap saya untuk terakhir kalinya.

Penjaga konter geleng-geleng kepala, lalu berujar, “Maaf untuk keputusan ini.”

Kemudian saya pulang mengemasi Samsung Z2 yang harganya sudah kebanting dalam sehari. Saya patah hati karena keteledoran saya sendiri. Saya tidak rela menjualnya dengan harga semurah itu, tapi saya juga tidak mau menurut nasihat penjaga konter untuk memakainya. Maka, saya menghibahkan ponsel itu untuk bapak saya. Ketika memakainya, bapak saya tidak mengenali suara teman dan sanak familinya. Beberapa bulan kemudian, Bapak pun menjual ponsel tersebut.

Untuk menegaskan diri sebagai fanboy Smartfren sejati, saya membeli paket seharga sejutaan berisi Andromax A 4G LTE dan MiFi Andromax M3Y di Galeri Smartfren Serang. Setelah itu, saya memakai dua ponsel Smartfren dengan dihidupi paket datanya dari satu modem Smartfren juga. Sampai sini, saya sudah cukup bahagia.

Sampai suatu ketika, saya mengantri di Hana Bank dan menemukan brosur promo Gadget Surprise, nabung dapat gawai. Saya tergiur dan segera mengendapkan dana sebesar 1,5 juta agar dapat hadiah langsung Samsung Galaxy J1 Ace.


Galaxy J1 Ace pernah menemani saya dalam perjalanan dari Cilegon ke Jakarta untuk nonton film Guardians of the Galaxy Vol. 2. Saat pergi baterainya tinggal limapuluh persen, saat pulang baterai sudah merah dan hampir mati tapi masih bertahan ketika order ojek online. Ketika saya sampai pintu tol untuk naik bus Primajasa jurusan Merak, barulah ponsel itu mati total.

Setelah ada Galaxy J1 Ace di tangan, saya mulai melupakan Andromax A. Jika diadu, J1 Ace memang lebih enteng ketimbang Andromax A yang tertatih-tatih hanya untuk membaca DM Twitter. Tidak ada alasan untuk saya mempertahankan Andromax A. Kemudian saya menggunakan kamera J1 Ace untuk memotret Andromax A beserta modemnya, lalu saya pajang di Tokopedia.

Galaxy J1 Ace sudah seperti impian yang terkabul. Tapi ada satu ponsel impian yang sejak dulu saya idamkan, yakni Blackberry Q10. Saya ingin seperti dulu yang bisa ngetik naskah novel pakai Blackberry. Ketika sudah ada dana, saya langsung order di Lazada. Saat itulah saya memegang empat ponsel, Andromax G2 Qweerty, Andromax A, Galaxy J1 Ace dan Blackberry Q10.

Kemudian satu persatu hengpon saya gugur. Pertama Andromax G2 Qwerty yang mati total dan tidak bisa dihidupkan, seakan ngambek dengan kedatangan ponsel qwerty lain. Andromax G2 Qwerty betulan wafat setelah di-service dan bikin tukang service angkat tangan. Saya sedih karena banyak draft tidak tertolong yang tersimpan di memori teleponnya. Kemudian Andromax A laku di Tokopedia, menyusul modemnya yang sudah dibeli orang duluan. Saya resmi resign sebagai fanboy Smartfren sejak itu.

Tinggal J1 Ace dan Q10 sekarang. Q10 tidak sesuai harapan saya sebab tidak bikin saya serta-merta jadi produktif ngetik naskah novel. Karena dasarnya memang saya yang pemalas. Lihat layar Q10 yang tidak selebar daun kelor saja saya jadi tidak mood ngetik.

Sekarang satu-satunya gawai yang saya bawa kemana-mana hanya Galaxy J1 Ace. Tanpa modem. Hanya mengandalkan sinyal XL yang ngacir (menurut buzzer di Twitter).

Komentar

  1. Ada pesan terselubung pengen ganti hape kah bang?

    Berubah haluan dari J1 ke Thai-league atau liga 1 kah?

    Semoga yang bilang aamiin masuk surga. Aamiin

    BalasHapus
  2. bodo amat haris.
    malah promosi henfonnya yang butut itu -,-

    BalasHapus
  3. inilah akibat beli hape tidak membaca reviewnya dulu :')

    BalasHapus

Posting Komentar