Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Pengalaman Pertama ke Luar Negeri

Pengalaman traveling paling seru yang pernah terjadi di hidup saya adalah ketika kali pertama ke luar negeri. Saya berkesempatan menjejakkan kaki di Thailand, tempat asal Mario Maurer. Sebelum terbang ke Thailand, saya sudah antusias baca travel tips di internet. Mengikuti wejangan para travel blogger, saya siapkan segala hal yang dibutuhkan: paspor dan uang baht. Setelah bikin paspor di kantor imigrasi, saya menukarkan uang rupiah ke baht di money changer. Saya juga sudah siap-siap untuk membeli paket roaming agar kartu seluler saya tetap aktif di luar Indonesia.

Saat baru turun dari pesawat dan tiba di bandara Don Mueang, saya tak bisa menahan cengiran. Akhirnya, saya ke luar negeri juga! Mata saya langsung mengamati keadaan sekitar yang dipenuhi oleh orang-orang asli Thailand serta turis-turis internasional. Telinga saya juga mendengar bahasa Thailand yang diucapkan langsung oleh orang Thailand. Selama ini saya mendengar orang ngomong bahasa Thailand hanya dari film-film komedi romantis Thailand.




“Sawadee krap!” sambut seorang guide sembari memasangkan kalung bunga ke leher saya. Saya sudah seperti atlit olimpiade saja. Untung, saya bukan titisan ratu film horor. Jadi, bunga tersebut saya biarkan menggantung di leher saya, tidak saya makan.



Hari pertama di Thailand, saya dan teman-teman seperjalanan mengunjungi The Grand Palace. Sebuah kompleks bangunan istana di Bangkok, Thailand. Di kediaman resmi Raja-raja Thailand inilah saya menemukan banyak turis dari beragam negara dan benua. Kalau kata Vicky Prasetyo, “From America, Europe, and everything, Japanesse and Asia.” Mungkin rakyat Wakanda juga ada.

Rasanya sungguh menakjubkan bisa melihat orang-orang berbeda ras dan kewarganegaraan berkumpul di satu tempat yang sama. Kami begitu damai berdesak-desakkan di Grand Palace, tidak lupa senyum dan tertawa karena alasan sedang piknik.

Sebelum keluar dari Grand Palace, kami sempat berfoto dengan prajurit kerajaan yang mematung di depan pintu masuk istana.

“Nah, tugas dia berjaga di depan istana. Tidak boleh bergerak. Harus tetap dalam posisi siaga. Kalau gatal pun tidak boleh garuk-garuk,” terang guide kepada kami.

Teman saya, Dinar, prihatin dengan sang prajurit. “Kasihan ya. Dia kan masih kerja, masa sih kita gangguin? Coba bayangin kamu kerja, bikin invoice di kantor, terus datang anak-anak TK study tour, masuk ke ruang kerja kamu. Kamu kerja dilihat banyak orang, diajak foto, kamu pasti terganggu, kan?”

Kalau dipikir-pikir, benar juga kata Dinar. Namun, ketika guide siap memotret kami, Dinar paling pertama ngacir dan ambil posisi di sebelah sang prajurit kerajaan yang masih anteng. Saya tepuk jidat.

Selanjutnya, kami naik tuk-tuk menuju Wat Pho. Tuk-tuk adalah kendaraan yang mirip bajaj, tapi bunyi mesinnya tidak seberisik bajaj. Tempat duduknya pun lebih luas, bisa muat empat penumpang. Selama naik tuk-tuk, kami melihat jalanan Bangkok yang ramai. Ketika melihat seorang anak sekolah pakai seragam putih-biru, saya langsung teringat serial Hormones. Lalu ada tiga remaja cowok jalan bareng, saya langsung bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka punya band seperti SuckSeed? Jika di Indonesia ada sinetron ‘Bajaj Bajuri’, apakah di Thailand ada ‘Tuk-tuk Bajuri’? Terbayang, emaknya Oneng mengomeli Bajuri dalam bahasa Thailand.

Sesampainya di Wat Pho, kami tergugah dengan patung emas Buddha Berbaring berukuran raksasa. Menurut guide, Wat Pho adalah kuil terbesar dan tertua di Thailand. Kemudian, perjalanan kami berlanjut menuju Wat Arun yang terletak di seberang sungai Chao Phraya. Untuk sampai ke Wat Arun, kami perlu naik Chao Phraya Express Boat membelah sungai. Wat Arun adalah salah satu landmark populer di Bangkok. Maka, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto di sana.



Di Temple of Dawn ini, saya kembali bertemu dengan para turis mancanegara. Mereka asyik berfoto dan berbicara dengan kawan sebangsanya dengan bahasa ibu masing-masing. Orang Perancis tetap ngomong bahasa Perancis. Begitu juga dengan orang Jepang dan Korea Selatan. Apalagi turis dari Hong Kong! Selain takjub dengan lokasi wisata, saya juga terkagum-kagum dengan para wisatawannya yang menjadi mahakarya Sang Pencipta. Keberagaman ini menyadarkan saya untuk lebih berusaha mengenal dunia luar. Betapa dunia saya selama ini sempit sekali. Begitu keluar dari ‘kotak’, ternyata banyak hal yang belum saya lihat. Benar-benar pengalaman berharga yang membuat saya ketagihan untuk kembali melancong ke luar negeri. Selanjutnya, Jepang, mungkin?

Komentar

  1. Mantap sekali. Perjalanan memang kadang lebih bernilai filosofis dibanding ngulet-ngulet di kamar.

    BalasHapus
  2. Baca cerita ini bikin saya jadi teringat sama kisah saya waktu pertama kali ke luar negeri tahun 2011 dulu, hahaha. Saya pertama ke luar negeri tuh ke China.

    BalasHapus
  3. Jalan-jalan ke luar negeri memang enak banget, Ris. Walaupun gue belum pernah ke luar negeri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soon.

      Saya aja pengen jalan-jalan ke Makassar belum kesampaian. Kalau kamu mah udah. Tiap hari.

      Hapus
  4. Selalu pengen traveling ke luar negeri. Semoga aja. hehe

    BalasHapus
  5. Mantap banget nih Ris ...
    Akhirnya pernah keluar negeri dengan lancar bebas hambatan .

    Coba kalo bawa oleh2 terus dibuat giveaway ya ~ :D

    BalasHapus
  6. Selalu menyenangkan ya ngga di luar negri di dalam negri pun kalo mendengar langsung bahasa yang asing di telinga kita itu kesannya unik dan kita yang denger ikut nebak2 kira mereka ngomong tentang apa 😁

    BalasHapus
  7. Klo saya pertama ke luar negeri ke jepang.


    LIHAT DISINI UNTUK TEMPATNYA DOWNLOAD GAME & APLIKASI ANDROID

    BalasHapus

Posting Komentar