Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Ninja dianggap serba bisa. Padahal nggak semua ninja kayak ular
Orochimaru yang berbisa.
Memang namanya manusia, selalu berkeluh kesah dan merasa paling sial
sebab cerita tetangga terdengar lebih epik. Bajak Laut bilang jadi Petarung
Saiya enak sebab sudah kuat sejak lahir, tidak perlu mengarungi lautan untuk
mencari kekuatan dari buah iblis. Petarung Saiya bilang Superhero lebih enak
lantaran disekolahin dan dicarikan kerjaan setelah lulus. Tidak seperti
Petarung Saiya yang nggak pernah makan bangku sekolahan. Kalau nggak ada musuh
membahayakan bumi, Petarung Saiya jadi pengangguran atau bercocok-tanam.
Sementara Superhero bilang paling enak jadi mangaka kayak Ashirogi Muto yang
bisa mengarang cerita sendiri, meski diri mereka sendiri adalah karakter manga.
Masalah gebetan itu relatif, tidak terpaut faktor
tertentu. Ninja yang jago genjutsu macam Guru Kakashi malah punya
pandangan bakal jadi bujang lapuk lantaran terlalu sering dapat tantangan dari
sang rival, Guru Guy. Sehingga mereka lupa cari jodoh karena terlalu asyik
bersaing.
Sudah begitu di sekolah kami jumlah kaum hawa 2 banding 1.
Contohnya tim 7 yang terdiri dari saya sendiri, Sasuke dan Sakura. Dimana Sakura
lebih memilih lelaki dari keturunan Uchiha daripada saya yang akan menjadi seorang
Hokage. Sedangkan cewek dari tim lain relatif susah didekati. Apalagi saya
menyimpan siluman rubah berekor sembilan yang tersegel di udel.
Teknik ninjutsu yang masih termasuk ke dalam ilmu ninja ini
biasanya menjurus ke pengendalian aliran cakra. Banyak peminatnya. Namun
kebanyakan yang awalnya berminat, lambat laun akan menyadari bahwa mereka tidak
berbakat menguasai ninjutsu. Contohnya adalah Rock Lee yang fokus taijutsu
(teknik tubuh) saja. Lalu ada Tenten yang ahli fuinjutsu (jurus segel) dan mulai
berpikir untuk jadi entrepreneur
dengan membuka toko senjata.
Sungguh kasihan, mereka terjebak dalam mimpi-mimpi akan
menjadi the next Hashirama Senju atau penerus Nenek Tsunade.
Apalagi yang mimpi itu orang tuanya, sedangkan yang disekolahkan sebenarnya
punya mimpi membuka warung Ramen Ichiraku seperti Paman Teuchi.
Kadangkala memang orang tua yang malah sengaja memasukkan
anaknya ke Akademi Ninja. Berdasarkan pandangan zaman dulu yang dibawa dari
generasi leluhur, bahwa profesi di bidang ninja memiliki tempat bagi anak
mereka, pasti dibutuhkan di mana-mana, pasti gajinya besar, pokoknya masa depan
cerah, dengan syarat tidak terbunuh dalam misi. Tanpa sadar jumlah ninja yang
kian bejibun justru akan menambah daftar korban Pain yang berambisi membunuh
semua ninja.
Sekarang bukan “Zaman Hashirama Senju dan Madara Uchiha” yang
harus bermusuhan karena orang tua mereka juga bermusuhan. Biarkan anak menjalani
pendidikan yang nyaman sesuai dengan jalan ninjanya (walaupun jalan ninjanya
dengan tidak menjadi ninja, itu termasuk jalan ninja juga). Yang nyaman, bukan
langgeng. Kepingin jadi genin abadi? Menyelesaikan ujian Chuunin
puluhan tahun karena lebih sibuk mengejar teman yang berkhianat menjadi ninja
pelarian daripada bakti pada desa Konoha.
Maaf, saya malah curhat.
Sebagian dari para calon ninja ini bahkan berpikir bahwa menjadi
ninja tidak butuh pengendalian cakra yang hebat. Mereka terjebak dalam persepsi
tersebut hingga akhirnya terjerumus ke dalam akademi ninja. “Ah, sekolah ninja
ajalah, enak. Lagian gue udah pernah melempar shuriken tepat sasaran, pasti lancar!”
Lagi-lagi malang betul. Memang betul demikian, namun fakta bahwa
dunia shinobi diciptakan dari buah cakra yang dimakan oleh Kaguya, membuat belajar
di akademi ninja harus terampil dalam pengendalian cakra.
Jadilah mereka lulus tidak tepat waktu karena mengulang ujian
Chuunin berkali-kali. Padahal tuntutan orang tua, setahun menjadi Genin harus diangkat
Chuunin oleh Hokage. Mereka inilah yang membuat Rikudo Sennin menangis di alam
sana.
Belum lagi, ada stereotip klan seorang pelajar akademi ninja. Keturunan
Uchiha dianggap jago menyemburkan api, kalau Guru Asuma mau menyalakan rokok sering
dimintain api. Kalau pakai kacamata warna hitam, penyebabnya ya karena tubuhnya
sudah ditumbalkan sebagai sarang serangga seperti klan Aburame.
Di sisi lain, stereotip yang amat sangat melekat pada ninja adalah
menjadi bodyguard. Anggapan bahwa ninja sangat tahu betul cara menjaga
seseorang dari bahaya, mungkin menjadi salah satu faktor yang mendukung
munculnya stereotip ini. Ninja dianggap sebagai master dalam
dunia bodyguard, bahkan babysitter. Ketahuilah wahai saudara, ketika Sasuke
dibantai Zabuza saja saya kalang kabut bingung harus berbuat apa. Teman sendiri
saja tidak bisa saya jaga dengan baik!
Derita ninja tak sebatas menjawab pertanyaan pada ujian tertulis
Chuunin. Tapi juga menjawab permintaan tolong yang dilayangkan tetangga, rekan,
kerabat, bahkan pemilik warung ramen untuk memperbaiki kompor mereka yang rusak
karena sumbunya kependekan. Yang paling mengiris hati, mereka menambahkan
kalimat, “Lu kan ninja, gitu doang mah bisa kali,” di belakang kalimat
permintaan tersebut.
Ninja juga biasa menjadi tempat konsultasi bagi para musuh
mengenai pandangan tentang makna perdamaian hakiki. Pernah suatu ketika saya
tengah asyik menghajar musuh di sebuah perang sembari menahan air mata
kepedihan karena pemuja rahasia saya mati mengorbankan nyawanya demi saya.
Sekonyong-konyong musuh memanggil nama saya, lalu bertanya “To, menurutmu,
damai itu apa ya?” Belum sempat dijawab sudah terlempar lagi pertanyaan lain, “Jika
ingin membuat dunia damai, bukankah bumi yang sudah busuk ini harus ditata
ulang dengan memusnahkan seluruh penghuninya?”
“Kalo gue bikin desa lo luluh-lantak begini, biaya untuk
renovasinya habis berapa?”
“Mending gue jadi anak buahnya Madara Uchiha sampai mati, atau ikuti
kata hati berwirausaha membuka jasa akupuntur?”
“Sebenarnya gue bisa berubah pikiran, asalkan lo mau ceramahin
gue. Lo mau nggak?”
“Lo belajar ceramah dimana sih? Emang jadi ninja juga diajari
khotbah?”
“Muka gue ama elu mirip, kan? Cuma beda warna rambut?”
“Konan minta status, gimana nih?”
Alamak, sini saya rasengan kepalamu biar pecah sekalian.
Sial betul. Cinta saya saja ditolak, ini malah minta saran
percintaan.
Setelah perang shinobi usai pun hal-hal seperti
itu masih sering menampar para ninja. Apalagi bagi yang dulunya ninja rantau
seperti saya, ketika pulang ke desa dengan membawa kembali Sasuke, seringkali
saya dimintai tolong oleh para kunoichi. Karena dianggap pintar membujuk orang
untuk taubatan nasuha, tidak sedikit kunoichi yang menyuruh saya untuk
dicarikan mantan pacarnya yang kabur.
Tolong email ke konoha bang. Gue mau diajarin taubatan nasuha juga yang bener. Tolong ya bang. HAHAHA
BalasHapusAha..
BalasHapusAhaha..
Ahahahahaha..
:'D
lucu bang
BalasHapusKagak ngarti guaa ama konoha dan kawan kawan :'(
BalasHapus