Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Sebenarnya, saya pengen galau, sama seperti teman saya tahun lalu. Di mana saya mendampingi beliau yang tak stabil secara batiniah kala itu. Sampai akhirnya ia menikah dengan cewek yang membuatnya oleng. Namun, kini kondisi sudah tak sama. Kalau saya menuruti nafsu untuk galau nggak puguh, teman saya sudah tidak bisa menemani karena sibuk mengurus kehamilan istrinya dan mencari uang untuk mempersiapkan kelahiran anak pertamanya. Saya harus mengurus diri saya sendiri. Kalau saya mogok kerja kayak teman saya waktu itu, bisa-bisa cicilan kredit dan tagihan setiap bulannya nggak kebayar. Saya belum siap dikejar-kejar orang Ambon yang hendak menarik kendaraan saya di tengah jalan. Terus pas pulang, mendapati rumah saya dipasangi plang bertuliskan “Tanah dan bangunan ini dalam pengawasan bank.” Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa menghayati kegalauan adalah kemewahan. Tidak semua orang bisa melakukannya secara paripurna. Orang yang belum merdeka secara finansial seperti saya...