Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Hari terakhir di Malaysia, saya dan istri memutuskan menghabiskan sisa ringgit untuk membeli oleh-oleh cokelat di bandara. Kami terlalu percaya diri, tidak berpikir panjang bahwa ringgit itu masih akan dibutuhkan. Ternyata, keputusan tersebut keliru karena kami terpaksa extend satu hari. Hidup memang penuh kejutan, dan ternyata, kejutan pertama dimulai dari sini. Ketika saya dan keluarga bersiap terbang dari Johor Bahru ke Jakarta dengan pesawat TransNusa, ada satu hal yang tidak kami antisipasi: delay. Penerbangan seharusnya berangkat pukul 4 sore, tapi kenyataannya, kami malah duduk manis di ruang tunggu tanpa kepastian. Sampai akhirnya, seorang petugas wanita dengan bendera Malaysia di rompinya—sebut saja Makcik—muncul untuk memberikan pengumuman. Dengan semangat tiga bahasa, Melayu, Inggris, dan Mandarin, dia berkata, "Ada masalah teknis dan cuaca, kondisi pesawatnya tak ada radar untuk deteksi jalur langit." Setelah penjelasan yang tidak begitu menenangkan itu, Makcik ...