Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Dulu saya pacaran naik angkot. Jemput pacar pun pakai angkot. Si doi berdiri di depan gang rumahnya, saya menghampiri dengan melambaikan tangan melalui pintu angkot sembari berseru, “Kiriiii!” Untunglah, sopir angkotnya bukan penganut Palu Arit Phobia sehingga pas saya bilang kiri, nggak dicap komunis. Sang sopir hanya menepikan angkotnya sehingga pacar saya bisa lompat ke dalam angkot. Kata ‘kiri’ yang keluar dari mulut saya tidak membuat penumpang berkurang, malah nambah. Tapi sejak sales motor Honda menyerang, saya nggak jemput pacar pakai angkot lagi. Akhirnya saya dibelikan motor oleh Bapak. Setelah sebelumnya saya berhasil mengendarai motor blio tanpa nabrak tembok kampus seperti hari pertama belajar mengemudi bersamanya. Motor pertama saya adalah Supra X 125. Perpaduan warna hitam dan hijau kue talam. Dilengkapi dengan sticker One Heart di bodinya. Mengingatkan saya bahwa saya hanya punya satu hati dan sudah digunakan untuk mencintai satu gadis. Motor ini d...