Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Saking pusingnya cari dana
buat renovasi rumah, saya sempat membayangkan jadi target bantuan tim Bedah
Rumah. Sebuah
reality show yang memungkinkan nantinya rumah saya direnovasi gratis. Masalah papan yang jadi
kebutuhan primer seorang manusia pun bisa teratasi dalam sehari.
Selain itu, dapat isinya
juga: perabotan rumah tangga seperti furniture dan barang elektronik lainnya.
Dalam transaksi ini, pihak
televisi mengeksploitasi kehidupan sosial target tim Bedah Rumah: menjadikan
kesedihan sebagai komoditi. Air mata masuk industri untuk diubah menjadi bata
demi bata. Sampai akhirnya jadilah istana lengkap dengan segala isinya.
Jika ingin jadi target tim
Bedah Rumah, saya mau nggak mau harus terlibat dalam drama yang sudah
di-setting. Namun, saya tidak yakin kehidupan saya akan menuai rasa simpati
penonton.
Saya membayangkan pembawa
acaranya ikut kerja bareng saya di kantor untuk mengetahui betapa keras
pekerjaan saya. Lalu saya ditanya-tanya perihal penghasilan.
"Jadi, begini keseharian Bapak
selama ini? Kalau boleh tau, penghasilan Bapak berapa sebulan?" Tanya
pembawa acara.
Saya jawab dengan wajah
memelas sembari pura-pura menyeka keringat sehabis ngetik laporan di komputer,
"UMK aja, Mbak."
"Apa? Cuma UMK? Memang
cukup untuk dipakai makan sehari-hari, belanja bulanan, bayar tagihan listrik,
beli kuota internet, cicilan kredit, asuransi, nonton di bioskop dua Minggu
sekali, beli popcorn, langganan Netflix?" Mbaknya terkaget-kaget.
"Yah, dicukup-cukupin.
Saya syukuri aja." Saya mulai mengucek mata.
"Udah lama Bapak kerja
seperti ini?" Mbaknya nanya lagi.
"Sejak lulus kuliah,
Mbak," jawab saya.
"Sudah lama juga
ya," sahut Mbaknya. "Awet ya Bapak kerja di sini."
"Ya. Alhamdulillah
belum di-PHK," ujar saya.
"Kalau sewaktu-waktu
diputus begitu hubungan kerjanya, Bapak mau kerja apa?" Mbaknya mulai
melakukan penetrasi menuju deep
conversation.
"Belum tau, Mbak!"
Tangis saya pun pecah. Saya mengelap air mata pakai kerah seragam kerja.
"Ini ada tisu,
Pak." Mbaknya menyodorkan kotak tisu di meja kerja saya.
"Oh iya." Saya
tepuk jidat.
Mbaknya buru-buru
menepuk-nepuk pundak saya. Puk-puk. "Sabar ya Pak. Makanya, Bapak kerjanya
yang bener. Jangan main Facebook dan Twitteran terus ya Pak. Biar kinerja Bapak
dinilai baik oleh HRD."
Kemudian, terjadi konflik di
kantor sebagai bumbu drama. HRD datang ke meja saya dan menyerahkan sebuah map.
Jeng jeng jeng!
"Ini apa, Pak?"
Dengan wajah bingung, saya bertanya kepada HRD.
"Surat PHK," kata
HRD tegas.
"Apa?" Mbaknya justru
yang kaget. "Kenapa Bapak ini dipecat? Salahnya apa, Pak?!"
Kamera zoom in, zoom out.
Kemudian iklan.
Sesudah iklan, drama
diteruskan kembali.
"Apa?" Mbaknya
masih kaget. "Kenapa Bapak ini dipecat? Salahnya apa, Pak?!"
"Suratnya bukan buat
Bapak ini. Tapi untuk temannya yang sudah tiga hari berturut-turut tidak masuk
kerja tanpa keterangan. Saya titip ya. Tolong disampaikan kepada yang
bersangkutan," terang HRD, lalu ngeloyor ke ruangannya.
Mbaknya lega.
"Alhamdulillah, tadi saya kaget banget. Saya kira Bapak yang
dipecat."
Saya pasang muka datar seperti Saitama di
komik One Punch Man.
Sepulang kerja, saya dan
keluarga diajak tamasya ke taman hiburan setempat. Kebetulan sedang ada pasar
malam.
Saya naik bianglala berdua
mbaknya.
"Seneng nggak Bapak naik
bianglala?" Mbaknya nanya-nanya melulu untuk kebutuhan konten.
"Seneng," jawab
saya singkat.
"Habis ini, mau naik
apa lagi, Pak?" Mbaknya nanya maning.
"Komidi putar,
mungkin?" Jawab saya tak yakin.
"Habis itu mau naik apa
lagi?" Mbaknya nggak kehabisan pertanyaan.
"Pulang aja kali ya
Mbak?" Saya mulai ketakutan.
"Yakin? Nggak pilih tirai nomor 2"
Mbaknya tersenyum. Loh? Salah
program.
Pulangnya, saya dan keluarga
bermalam di hotel mewah. Sementara rumah saya sedang dirubuhkan untuk dibangun
kembali menjadi istana.
Di kamar hotel, saya disuruh
lompat-lompat di atas spring bed. Ekspresi kegirangan perlu ditunjukkan.
Sebagai kesan, saya nggak pernah tidur nyenyak di tempat nyaman.
Sementara itu, anggota
keluarga saya yang lain sedang asyik nyeduh kopi dan popmie pakai air panas
dari kamar mandi hotel.
Besoknya, saya kembali ke
rumah saya. Melihat keadaan rumah, saya speechless dan bingung mau berekspresi
apa. Pembawa acara yang melihat saya diam pun segera mengarahkan: mendorong
punggung saya untuk melakukan sujud syukur.
Sebelum sujud syukur, saya
bertanya, "Mau tanya, Mbak. Kok rumah saya masih rata dengan tanah ya?
Sementara rumah tetangga saya malah makin bagus. Kayaknya ada yang salah
deh."
Mbaknya menjawab, "Oh,
nggak ada yang salah kok, Pak. Prosedurnya sudah benar. Rumah yang dirubuhkan
berbeda dengan rumah yang direnovasi. Yang dirubuhkan rumah Bapak, yang
direnovasi rumah tetangga. Sebab Bapak masuk ke acara Beda Rumah."
Saya mangap.
Mbaknya menghapus make
up: ternyata Youtuber tukang
prank yang menyamar.
Horeee.. Beda rumaaahhh. Kesel tp saya tertawa baca ini. Pakek sgala kbayang muka oon nya saitama pula. Haha. Mbak2nya trnyata yutuber tukang prank. Mnding di prank balik dah.
BalasHapusYA ALLAH KENAPASIIIII!! KZL HUHUUU
BalasHapusBEDA RUMAH
BalasHapuskutertawa.
BalasHapusHahahaha beda rumah dong, antara deg-degan, KZL dan enggak bisa berenti ketawa baca ini
BalasHapus