Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Di era digital seperti saat ini, banyak warganet yang mengesampingkan
sopan santun saat berinternet. Mentang-mentang tidak ketemu langsung dengan
orangnya, bisa semaunya berkata-kata di media sosial. Mengomentari kehidupan pribadi
orang lain yang ditemui di dunia maya sama dengan meloncati pagar rumah
tetangga di dunia nyata. Tentulah ini jadi kanker di dunia siber.
Namun, kita masih bisa menyelamatkan generasi mendatang dari krisis sopan
santun ini. Belum terlambat untuk menyiapkan masa depan yang cerah.
Bisa kita mulai dengan program mendidik anak sejak usia dini. Mengenalkan
kepada bocah-bocah itu tiga kata ajaib: maaf, tolong, dan makasih. Ajarkan
kepada anak dan adik kita untuk mau meminta maaf ketika tidak sengaja membuat
kesalahan, apalagi disengaja. Tak lupa mengucapkan kata tolong saat ingin minta
bantuan dan perkara lainnya yang pasti merepotkan orang lain. Disempurnakan
dengan terima kasih saat diberikan sesuatu atau saat sudah ditolong.
Saat hari raya, jamak kita temui bocah-bocah yang diberikan persenan THR
oleh om dan tantenya. Lalu si ibu dengan sigap membimbing anaknya yang baru
saja dapat uang anyar, “Bilang apa? Ayo, bilang apa? ‘Makasih, Om.’ ‘Makasih,
Tante’.”
Dengan nurut, si bocah akan mengulang kata-kata ibunya, “Bilang apa? Ayo,
bilang apa? Makasih, Om. Makasih, Tante.”
Om dan Tante pun senang dan memuji kecerdasan si anak, “Kembali kasih, pinter.”
Endingnya, uang yang dipegang bocah itu akan diambil oleh ibunya dengan
niat baik, “Uangnya buat ditabung ya, Sayang.”
Ngomong-ngomong tabungan anak, kemarin ibu saya meminta saya untuk bantu
adik saya yang masih SMP. Adik saya mengalami kendala dalam aktivitas belanja
online. Uang tabungannya telah dipakai untuk beli baju di toko online, tapi barangnya
belum sampai juga.
Ketika saya cek status pengirimannya, barang dilaporkan telah sampai
tujuan, tapi adik saya belum menerimanya. Waduh. Saya buru-buru masuk ke kolom chat
penjual untuk meminta bantuan konfirmasi ke jasa ekspedisi. Di sana, sudah ada
histori chat antara adik saya dan si penjual. Sontak saya terkejut.
Adik saya memarahi penjualnya, “Nggak bener ini! Laporan barangnya sudah
sampai, tapi penerimanya bukan saya. Baca dong nama saya siapa.”
Sebelumnya, adik saya sudah terlibat dialog panas sewaktu proses
pengirimannya. “Udah dibayar, kok nggak dikemas-kemas juga barangnya?” ketik
adik saya komplain, padahal itu belum sehari.
Penjualnya hanya membalas, “Sabar, Gan. Tangan ane cuma satu. Yang belanja
bukan Agan doang.”
Itulah potret era revolusi industri 4.0. Pembeli yang baru lulus SD bisa
berinteraksi dengan pedagang yang entah umurnya berapa dan mereka setara dan
sejajar di dunia digital.
Adik saya yang nggak sabaran, mendadak kurang sopan dalam berinteraksi.
Padahal bisa saja penjual yang ia suruh cepat-cepat bungkus barangnya itu jauh
lebih tua darinya. Ditambah ada kesalahan sistem pengiriman yang bikin panik.
Setelah sekali lagi saya cek di website jasa ekspedisinya, ternyata
kiriman barang itu masih di kurir. Masalahnya, kurir ini melaporkan ke sistem
pelacakan kalau barang sudah diterima, padahal masih di tangannya. Alhasil,
keluarlah laporan barang yang diantar oleh kurir telah diterima oleh kurir itu
sendiri. Hal ini diketahui dari nama kurir dan penerimanya yang sama.
Besoknya, barang yang diributkan itu akhirnya sampai rumah dan diterima
oleh adik saya.
Pelajarannya, anak zaman sekarang, kecil-kecil sudah belanja online. Dari
sinilah saya jadi tahu bahwa adik saya belum sepenuhnya menerapkan sopan santun
dalam berinternet. Temuan ini akhirnya saya teruskan kepada ibu saya sebagai
HRD di rumah untuk diadakan evaluasi SDM.
Seorang ibu santuy mengajarkan anak sopan santun |
Komentar
Posting Komentar