Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Laundry Pakaian untuk Menyelamatkan Dunia

Film Borat (2006) yang dibintangi Sacha Baron Cohen mengandung jokes yang lumayan kotor. Alih-alih dimasukkan ke katalog aplikasi streaming film, seharusnya film ini dimasukkan ke jasa laundry pakaian. Biar nggak kotor-kotor banget.

Bagi percaturan politik Amerika Serikat, film Borat (2020) seperti film dokumenter Sexy Killers yang dirilis menjelang pilpres Indonesia tahun 2019. Jika Sexy Killers mengedukasi penonton tentang oligarki di balik rivalitas dua kubu politik dan konon menggiring orang jadi golput, Borat bisa jadi adalah sebuah bentuk kampanye negatif untuk tidak memilih Donald Trump. Amanatnya, “Asal bukan Trump.”

Borat 2 menceritakan perjalanan jurnalis rekaan dari Kazakhstan. Dalam misinya mengirim hadiah kepada petinggi negeri AS demi beri manfaat bagi Kazakhstan. Awalnya, kado yang ingin diberikan berupa monyet. Namun, monyet tersebut tewas dalam perjalanan. Akhirnya, Borat mengganti hadiahnya dengan putrinya sendiri.

Awalnya, cerita perjalanan Borat dan putrinya, Tutar, seperti rentetan kritik terhadap praktik patriarki bin misogini. Sang ayah yang menjual putrinya termasuk human trafficking yang masih terjadi di negara-negara berkembang. Ditambah, kepercayaan Tutar yang diturunkan oleh orang tuanya bahwa perempuan tidak boleh menyetir, bahkan sekadar bertanya-tanya.

Tutar meyakini mitos dari leluhurnya bahwa memegang kemaluannya sendiri adalah sumber bencana. Sebuah sindiran bahwa masih ada kepercayaan yang membuat perempuan merasa tidak punya hak atas tubuhnya sendiri.

Ketika Tutar mengobrol dengan warga Amerika Serikat yang berpaham feminis, dia menjadi teredukasi dan tercerahkan. Dalam waktu singkat, Tutar sudah jadi seperti rakyat AS yang bebas dan merdeka. Lantas menolak dan kabur ketika ingin dijual oleh ayahnya sebagai sugar baby untuk politisi Negeri Paman Sam.

Di sisi lain, Borat terjebak dalam teori konspirasi bahwa Obama adalah dalang dari virus Corona. Borat juga meyakini framing bangsa Yahudi secara harfiah. Sampai-sampai ketika menyamar jadi orang Yahudi, Borat berdandan seperti karikatur, lengkap dengan properti boneka bertuliskan “media” di satu tangan dan sekarung uang bersimbolkan dollar di tangan satunya. Menandakan bahwa bangsa Yahudi menguasai media dan keuangan global.

Namun, semua tuduhan itu ditepis satu persatu melalui plot filmnya. Jika ada teori konspirasi Obama yang membuat virus Corona, film Borat ini juga bisa menciptakan teori konspirasinya sendiri. Mudah saja membuat teori konspirasi tanpa dasar ilmiah, hanya bermodalkan cocokologi.

Jika Borat berkunjung ke Indonesia, maka dia bisa bertemu dengan penganut teori konspirasi. Misalnya, penganut teori bumi datar yang populasinya beririsan dengan penganut konspirasi corona.

Orang yang percaya bahwa bumi bulat hanyalah photoshop, CGI, dan buah konspirasi elite global, biasanya juga menganggap covid-19 adalah plandemic (pandemi yang direncanakan). Mereka beranggapan virus ini disebarkan oleh elite global, lalu vaksinnya pun dibuat oleh pihak yang sama.

Bill Gates yang concern terhadap pandemi dan produksi vaksin, diserang kolom komentar Instagram pribadinya oleh penganut konspirasi corona. Logika dangkalnya, dia yang bikin virus, dia juga yang jual antivirus.

Borat bisa meliput tentang komunitas bumi datar ini yang menjadi PR untuk pemerintah RI. Sebelum LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) mulai mencari alien dan tempat layak huni di luar bumi, pastikan semua rakyat Indonesia percaya bahwa bumi bulat dan ruang angkasa itu ada.

Daripada repot-repot berinvestasi miliaran rupiah untuk proyek pencarian hunian di luar bumi, lebih baik dananya dipakai untuk mengedukasi kaum bumi datar terlebih dahulu. Soalnya kalau nanti planet alternatif telah ditemukan, yakin kaum bumi datar mau diajak pindah ke sana? Yang ada mereka menganggap itu hoaks belaka.

Jumlah kaum bumi datar yang percaya konspirasi corona semakin bertambah (seiring semakin cekaknya dompet mereka). Mereka percaya pakai masker itu justru berbahaya, karena harus mencium pembuangan nafas sendiri. Bagi mereka, cara jitu membuat virus ini hilang adalah dengan mematikan televisi dan stop baca berita. 

Yah, mereka tidak memperhitungkan risiko kalau nanti tahu-tahu populasi manusia berkurang drastis setelah satu persatu bertumbangan karena abai dan tidak mau tahu.

Borat bakalan mengungkapkan bahwa motif seseorang menjadi penganut konspirasi biasanya didahului oleh himpitan ekonomi dan merasa dicurangi oleh dunia. Sistem yang sedang berjalan tidak akan menguntungkan mereka karena pengaruh segelintir manusia yang mengendalikan dunia. Dengan menciptakan musuh imajiner itulah mereka jadi punya pihak yang disalahkan. Kalau hidup begini-begini saja, itu salah elite global.

Begitu pula ketika pandemi melanda. Mereka sudah menyimpulkan bahwa ini akal-akalan supaya ekonomi sebuah negara hancur, lalu pinjam uang dan terjerat utang. Endingnya, negara-negara bakalan tunduk pada elite global. Jadi, nantinya elite global bisa mengendalikan semua manusia dalam new world order.

Sebelum mimpi buruk itu jadi nyata, kaum bumi datar menyerukan people power. Dengan kekuatan kolektif, people power bisa menumbangkan elite global.

Lalu Borat berkesempatan menonton film pendek yang diunggah di Youtube NU Channel berjudul “My Flag – Merah Putih VS Radikalisme”.

Film ini sempat menjadi polemik. Pasalnya, ada adegan jagoan lelaki bersarung yang berkelahi dengan “sang antagonis” yang digambarkan celananya cingkrang. Tidak ada yang aneh dengan celana cingkrang. Sebab fashion pesilat memang biasanya demikian. Kalau celananya cutbray, nanti malah keserimpet.

Namun, yang menjadi perdebatan adalah adegan ukhti yang menjadi jagoan adu jurus beladiri dengan ukhti bercadar. Lalu ukhti bercadar berhasil dikalahkan dengan jurus pukulan dewa topan menggusur gunung dari sang jagoan. Saat lawan sudah tak berdaya, ukhti jagoan mencopot cadar dari wajah sang antagonis.

Banyak netizen yang menyesali adegan copot cadar tersebut. Di film pendek ini, konteksnya sang antagonis adalah simbol radikalisme yang hendak menodai kesucian bendera Merah Putih dengan ideologi berbahaya. Padahal, cadar tidak ada hubungannya dengan radikalisme. Malah cadar punya keistimewaan tersendiri di hati sebagian rakyat Indonesia. Apalagi setelah film Ayat-Ayat Cinta booming.

Kalau film ini sampai ditonton penganut konspirasi bumi datar, bisa jadi inspirasi. Apalagi jika dihayati dan ditiru adegannya, wah, bakalan berabe.

Dengan menonton film My Flag yang menghipnotis, bisa-bisa referensi adegan copot cadar jadi pedoman untuk Borat. Nanti Borat yang percaya konspirasi corona tiba-tiba mengajak gelut orang yang sedang menjalankan protokol kesehatan di jalan. Terjadilah adegan copot masker sebagai klimaks pertarungan.

Padahal untuk melawan virus ini simple banget, rajin-rajin cuci tangan dan laundry pakaian. Yeah, ternyata laundry pakaian bisa menyelamatkan dunia.


laundry pakaian
sumber: https://www.unileverprofessional.com/id/blog/id-pro-tips_tips-laundry-kiloan-dengan-prosedur-kebersihan-yang-tepat


Komentar