Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Mitos-mitos Masa Kecil yang Kini Dapat Dijelaskan Secara Ilmiah

Ketika kecil, saya tinggal di sebuah perkampungan di Kabupaten Serang. Di sana, saya menghabiskan masa kecil yang natural. Gaya hidup saya diisi dengan memancing belut di sawah.

Dokumen pribadi

Kalau sekarang untuk makan belut dan keong mesti jajan di warung pinggiran jalan. Dulu saya tinggal mengambilnya di sawah, lalu menggorengnya bersama teman sepermainan dan dimakan pakai nasi hangat yang dibawa dari rumah masing-masing.

Alam telah menyediakan segalanya. Dengan sawah saja, orang kampung bisa hidup, nasi/beras berasal dari padi yang ditanam sendiri. Lauknya pun tersedia di sawah berupa belut dan keong.

Namun, suatu hari tersebar kabar seorang petani jatuh sakit sehabis pulang dari sawah. Konon, sebelumnya yang bersangkutan tak sengaja bertemu jurig di sawah. Melihat sosok hitam tinggi besar menghadangnya pulang, sontak saja energinya habis karena kaget luar biasa.

Warga kampung sepakat mengeluarkan vonis bahwa salah si petani adalah masih bekerja ketika azan Magrib sudah berkumandang. Ketika ingin pulang ke rumah untuk beribadah, jurig justru menghalanginya.

“Segitu aja kerja kerasnya? Teruskan sampai azan Subuh!” Mungkin begitu motif si jurig.

Dari situlah warga kampung menyimpulkan bahwa kita tidak boleh bekerja di waktu salat. Apalagi waktu salat Magrib. Di sawah pula. Berbahaya.

Dari situ jugalah anak-anak kecil dilarang sering main-main di sawah. Setelah sebelumnya ada larangan main ke luar rumah di waktu magrib dengan alasan takut diculik kolong wewe atau wewe gombel. Tapi kalau keluar rumah untuk mengaji, setan mana pun tidak berani ganggu. Sebab kami memeluk kitab suci dan pakai peci.

Setelah sawah menjadi area terlarang, saya dan teman-teman memutuskan beralih tempat bermain di sungai. Dulu, sungai atau kali di kampung masih sering dipakai mandi dan mencuci. Bisa dibilang sungai adalah kamar mandi semua orang.

Selain berfungsi sebagai MCK, sungai juga menyimpan ikan-ikan yang enak dimakan, seperti ikan sepat dan ikan keting. Maka, kami mulai duduk berjejer di pinggir sungai untuk lomba mancing.

Ketika sedang senang-senangnya mancing ikan, santer terdengar kabar bahwa ada anak kecil yang mengalami kejadian besar dalam hidupnya.

“Katanya, siang bolong begini, ketika sedang menunggu umpan dimakan ikan, ada anak kecil disunat jin,” ucap seorang mamang-mamang yang juga sedang memancing di dekat kami.

Entah niatnya mengingatkan untuk tetap waspada dan berdoa, atau si mamang cuma pengen nakut-nakutin. Biar dia nggak punya saingan pas mancing.

Namun, setelah mendengar cerita horor itu, sontak kami bergegas pulang ke rumah untuk berlindung. Perlahan-lahan kami pun mulai meninggalkan hobi mancing demi keselamatan masa depan aset pribadi.

Fenomena disunat jin ini seolah teguran kepada para orangtua untuk segera menyunat anaknya sebelum jin yang turun tangan. Momok ini juga lumayan membuat anak kecil takut. Masa disunat tanpa konsensual? Kalau disunat jin, apakah tetap bisa jadi penganten sunat untuk dapat amplop dan ayam bekakak?

Sawah, terlarang. Main ke luar rumah siang-siang, belum tentu aman. Maka, anak-anak kecil di kampung mulai mendekatkan diri pada agama: berkumpul di masjid.

Namun, namanya anak kecil kumpul, pasti tidak jauh-jauh dari aktivitas bermain. Tak jarang sehabis salat Magrib, sambil menunggu Isya, kami bermain perang sarung.

Bahkan pada malam Minggu, ada saja sekumpulan anak kecil yang sampai tidur di masjid. Menemani marbot dan jamaah yang berniat itikaf.

Saya pernah sekali ikut tidur di masjid. Namun, langsung diceritakan oleh teman sebuah kisah mistis tentang anak kecil yang ketika tidur di masjid dipindahkan oleh jin penunggu masjid. Misalnya, pas malam tidur di dekat mimbar khotib, subuhnya bangun sudah di rak sendal bakiak.

Sebenarnya, kejadian itu bisa dijelaskan secara ilmiah. Yaitu, ada orang yang mau salat malam tetapi terhalang oleh anak yang tidur. Maka, digotonglah anak kecil itu keluar tempat salat.

Atau teori lebih simpelnya, tuh bocah tidurnya nggak mau diam, menggelinding dari karpet tempat salat sampai ke teras. Kalau tidurnya diteruskan, mungkin bisa menggelinding sampai kamar sendiri di rumahnya.

Hikmah dari kabar burung ini cukup meredam tren anak-anak tidur di masjid. Soalnya kalau sampai ngompol pas molor, marbot yang repot.

Namun, bagaimana menjelaskan secara ilmiah ketika ada orang dewasa yang tidur di masjid, lalu berpindah tempat ke belakang beduk, di atas makam, bahkan di dalam keranda mayat? Dalam dunia medis, ada yang namanya somnabulisme atawa sleepwalking (tidur saat berjalan). Masuk akal, bukan?

Mitos ‘disunat jin’ juga bisa dijelaskan secara ilmiah. Fenomena itu disebut parafimosis. Begitu pula dengan halusinasi petani yang mengaku melihat jurig sawah. Seseorang yang mengalami demam tinggi berdampak pada kinerja otak yang mengakibatkan disorientasi saat mata masih terbuka. Itulah mengapa orang sakit bisa saja melihat Batman di atas lemari dan menyuruhnya turun.

Pandemi yang terjadi saat ini disebut sebagai konspirasi oleh penganutnya. Namun, konspirasi atau tidak, kenyataannya Covid-19 bisa membahayakan banyak orang. Kelak, cepat atau lambat, kita akan tahu kebenarannya.

Demi meredam pandemi, para ilmuwan sampai repot-repot bekerja keras untuk menemukan vaksinnya. Kalau membaca artikel di Halodoc, saat ini perusahaan farmasi Pfizer dan BionTech sedang mengusahakan agar Vaksin Corona buatan mereka segera didistribusikan. Sambil menunggu vaksinnya rampung, kita teruskan kebiasaan jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan.

Bisa juga ditambah dengan mengunduh aplikasi Halodoc untuk bisa berbicara dengan dokter lewat chat. Apabila merasa sakit, usahakan tetap di rumah. Konsultasi masalah kesehatan bisa via online. Fitur Halodoc dapat mengurangi potensi penyebaran virus. Sebab kita tidak perlu antre untuk ketemu dokter.

Komentar