Apa jadinya seseorang yang pernah menulis buku berjudul Cancut Marut, memutuskan menjadi guru SD?
Kadang hidup memang tak tertebak.
Edot yang sejak buku pertama lekat dengan nama “cancut” itu justru turut berkontribusi
mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal kalau konsisten dengan branding cancut,
mungkin dia sudah jadi quality control produk-produk Calvin Klein.
Ini adalah hidayah untuk mereka
yang masih setia dengan label “jorok” untuk memulai kehidupan baru. Tidak ada
kata terlambat untuk rebranding, guys. Ingatlah, masih ada masa depan.
Edot atau Edotz Herjunotz adalah
salah satu kawan ngeblog saya yang berprofesi sebagai guru SD, selain Hadi
Kurniawan. Selama ini, standar guru SD seperti Bu Muslimah di Laskar Pelangi
yang sabar, penyayang, dan suportif.
Namun, selesai baca novel Andrea
Hirata itu, saya dihadapkan fakta di lapangan bahwa ada juga guru SD seperti
Edot atau Hadi. Dua blogger yang pernah menulis catatan kecut pada masanya,
tetapi kini mereka menikmati manisnya kehidupan sebagai guru SD.
Saya tidak akan membahas panjang-lebar
tentang Hadi. Sebab Hadi belum menuliskan buku tentang karier mengajarnya
sebagai guru SD, atau malah guru ngaji.
Yang kali ini menjadi sorotan saya
adalah sepak-terjang Edot di dunia pendidikan. Kisahnya tersebut ditulis dalam
buku bertajuk Diary Teacher Keder.
Dari judulnya, saya teringat
dengan film Thailand The Teacher’s Diary yang inspiratif itu. Saya pikir Edot
bakalan memparodikannya. Misalkan, ceritanya Edot menemukan buku diari milik
seorang guru misterius. Setelah baca diari guru tersebut, Edot jadi jatuh cinta
dengan kepribadiannya, termasuk cara mengajarnya yang unik. Tapi di ending
diketahui kalau pemilik diari itu adalah Hadi Kurniawan.
Malesin.
Tapi kalau dipikir-pikir, repot
juga kalau Edot harus reka ulang adegan ikonik di film The Teacher’s Diary: ngebut
pakai motor sampai nyebur ke sungai. Lagian motor Edot juga harus dipakai untuk
menempuh perjalanan menuju tempat mengajarnya yang berada di pelosok negeri. Lokasi
terpencil yang bahkan sinyal hape saja nggak ada, apalagi badut Oppo. Mungkin rakyat
di sana juga mengira presiden RI masih Soeharto.
Untungnya, Edot datang ke sana
membawa panji pendidikan. Bayangkan Pah Chin di anime Tokyo Revengers yang naik
motor sambil bawa bendera Touman.
Di sekolah barunya, Edot bertemu
dengan murid-murid yang lugu dan polos. Contohnya, seorang anak yang mengira
bahwa mata uang di Papua adalah daun.
Di situlah letak kelucuan buku
terbaru Edot ini. Kita bakalan menemukan celetukan-celetukan khas anak kecil
yang memancing tawa. Atau momen para guru di-prank murid-muridnya seperti di bab
Mencari Kurcaci.
Saya rasa, Edot bisa menulis
cerita komedi dengan effortless. Cukup tuliskan kejadian sebenarnya saja sudah kocak.
Lucunya masih murni.
Namun, seringnya Edot menyisipkan
jokes yang jauh panggang dari api. Hiperbolis, tapi tidak jenaka-jenaka amat. Untungnya,
selera humor pak guru ini di-carry oleh murid-muridnya. Alhasil, damage punchline-nya
nggak ngotak.
Beberapa kali saya tertawa membaca
buku Edot ini. Sama terhiburnya saya ketika membaca blognya. Saya langsung menyimpulkan bahwa Edot adalah salah
satu penulis berprivilese karena punya murid-murid yang lugu dan cerita yang
lucu dari sononya.
Namun, image cancut ternyata
belum sepenuhnya ditanggalkan Edot. (Ya iyalah. Masa iya ngajar nggak pakai
cancut?) Maksudnya, ketika sudah jadi guru pun Edot harus berhadapan dengan
urusan yang menyangkut cancut. Misalnya, muridnya yang BAB di celana. Ketika Edot
menyuruhnya ganti baju dan celana, si murid dengan polosnya masih mengenakan
cancut yang kotor tadi.
Apa boleh buat, Edot mengantar anak
didiknya itu pulang ke rumah orangtua murid untuk ganti pakaian. Ditambah,
masih harus menunggunya pakai baju bersih untuk kembali ke sekolah.
Sabar banget ya Edot.
Saya pikir sifat legawa Edot itu tumbuh
karena dipupuk oleh rasa tenang yang timbul setelah cita-citanya sebagai PNS terwujud.
Namun, setelah membaca tulisannya di buku ini, saya mengerti bahwa Edot telah
melalui perjalanan yang terjal bersama murid-muridnya. Edot bertumbuh. Kendati rambutnya
mulai rontok.
Edot pernah dihadapkan dilema
terkait hasil pembelajaran dari muridnya untuk menentukan kenaikan kelas. Edot pernah
didatangi orang tua murid berwajah sangar yang hendak melaporkan Edot ke Komnas
HAM. Namun, yang paling menyentuh adalah ketika Edot membaca surat kecil dari
muridnya yang jadi korban bully.
Dan MVP dalam kisah perjalanan
Edot sebagai guru ini adalah kakak laki-lakinya. Sewaktu ada lowongan guru di
SD negeri, kakaknya memberi tahu Edot untuk melamar pekerjaan itu dan akhirnya
diterima di sana.
Ketika SD negeri tempat Edot
mengajar harus tutup karena kekurangan murid (ya ini drama ala Laskar Pelangi
yang kejadian di kehidupan nyata), kakaknya datang kembali dengan info loker
guru di SD swasta. Edot pun melamar dan diterima.
Mungkin sewaktu Avengers
kehilangan Iron Man, kakaknya Edot juga sempat menyarankan Edot melamar jadi
anggota Avengers. Namun, Edot memilih jadi guru SD. Padahal kalau ngelamar jadi
superhero Marvel, saya yakin Edot bakalan diterima. Tinggal pakai cancut di sisi luar kayak Superman.
Saya membayangkan, kalau salah
satu muridnya Edot menjadi “seseorang” di masa depan, misalnya jadi penerima
beasiswa kuliah di luar negeri. Lantas ketika pulang ke Indonesia, ia menulis
buku dari sudut pandangnya sebagai murid yang pernah diajar Edot. Apakah nanti
kita bakalan membaca novel motivasional berjudul “Laskar Keder”?
Wkwkwk unik juga kayaknya buku ini. Mau baca, ah, abis ini! ✨🎉
BalasHapusMakasih buat reviewnya Ris 😁
BalasHapusDan cakepnya dari ulasan ini, ternyata MVP-nya nggak luput dari pengamatan... yang sebenernya kakak saya lebih MVP banget karena yang terus berisikin saya buat daftar CPNS juga kakak saya itu 😁