Sebelum memutuskan untuk membeli koleksi novel dari seorang pengarang, saya lebih dulu terinspirasi dengan kisah hidupnya. Penulis favorit saya ini berasal dari sekolah dengan bangunan yang memprihatinkan. Yang katanya disenggol kambing saja bisa rubuh. Apalagi kalau disenggol Nassar dan Jirayut yang sedang duet.
Singkat
kata, penulis idola saya ini menjadi inspirasi banyak pelajar kala itu. Walaupun
latar belakangnya tidak mendukung mimpinya untuk meraih pendidikan tinggi, ia
pantang menyerah. Sampai akhirnya ia bisa mendapatkan beasiswa kuliah ke luar
negeri, bukan perguruan swasta. Alhasil, beasiswa LPDP makin banyak peminat.
Tidak
hanya sampai situ. Melalui novel yang ditulisnya, sosok ini juga berhasil
mengangkat isu pendidikan di negeri ini yang masih miris dan sangat butuh pertolongan.
Menyentil para penguasa untuk lebih peka dengan hak belajar anak-anak di daerah
terpencil. Memperhatikan fasilitas umum untuk membantu para pelajar haus ilmu
menjangkau cawan pengetahuan.
Tak
boleh terjadi lagi pelajar sampai harus bertualang melewati hutan dalam berbagai
cuaca ekstrem hanya untuk sampai sekolah. Tak boleh terulang cerita anak SD
yang harus melalui rintangan Benteng Takeshi sampai bertemu buaya untuk menyanyikan
lagu Indonesia Raya di jam pelajaran terakhir.
Di sisi lain, kisah dalam novelnya juga mengangkat derajat seorang pengajar yang menjadi tokoh sentral. Membangkitkan semangat para pengajar muda untuk mengabdi pada negeri. Namun, tugas mengajar tak boleh selamanya diromantisisasi. Mentang-mentang tugas mulia yang dijanjikan ganjaran berupa surga, lantas upahnya dibayar pakai hasil bumi seperti kentang. Guru honorer juga berhak digaji layak.
Di
luar itu semua, tanpa disadari bahwa cerita hidup sang penulis novel inspiratif
tersebut adalah bagian dari strategi emotional branding. Tak bisa dimungkiri,
novel yang ditulisnya adalah sebuah produk. Produk tersebut bisa laku keras
sampai best seller karena loyalitas pembaca novel yang bisa disebut sebagai
pelanggan. Sampai novelnya dialihwahanakan menjadi film, serial, dan drama musikal. Bahkan
lokasi asalnya dijadikan obyek wisata sekaligus museum.
Nah,
kesuksesan produk di atas diantarkan dengan lima strategi emotional branding.
Berikut adalah cara menciptakan loyalitas pelanggan dengan emotional branding.
Isu
Sosial
Novel inspiratif sebagai produk di sini mengangkat isu ketimpangan sosial. Dengan membeli dan
membaca novelnya, pelanggan diajak untuk melek isu sosial yang sudah dan sedang
terjadi di negeri ini, yaitu kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Pelanggan yang sudah terkait dengan emotional branding tersebut pada akhirnya mendukung karya sang
penulis dengan membeli novel dan menonton filmnya.
Isu
Lokal
Novel
yang berlatar di sebuah pulau indah di Nusantara tersebut sangat kental mengangkat
kearifan lokal. Deskripsi dan narasi pada ceritanya secara tersirat
mempromosikan kekayaan alam di sana sekaligus seni budaya dan kehidupan
sosialnya. Di sisi lain juga mengangkat isu lingkungan, berupa eksploitasi
pertambangan. Novel ini menjadi produk yang komplet karena mengundang simpati pelanggan sekaligus memerangi aktivitas yang merusak lingkungan.
Inspirasi
Kisah
perjuangan protagonis di novel ini sangatlah menginspirasi. Apalagi di ending
novelnya disuguhkan prestasi sang jagoan. Bahkan di buku cetakan terbaru,
disuguhkan prestasi dari produknya itu sendiri yang sukses meraih banyak penghargaan
di bidang literasi. Nah, sumber inspirasi inilah yang dibutuhkan oleh pembacanya.
Aspirasi
Aspirasi
bisa disebut sebagai harapan dan tujuan untuk kesuksesan di masa depan. Pembaca
sebagai pelanggan merasa terwakili dengan kesuksesan penulis yang bangkit dari
kemelaratan. Sekaligus memantikkan harapan di benak mereka bahwa siapa saja
bisa menjadi seperti panutannya tersebut.
Cerita
Hidup
Uniknya,
produk ini justru adalah cerita hidup itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar