Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Momen Mencabut Gigi yang Tak Semudah Cabut dari Tongkrongan

Momen mencabut gigi adalah upaya terakhir dalam penderitaan sakit gigi yang konon lebih baik daripada sakit hati. Keputusan mencabut gigi adalah praktek dari metode memotong akar permasalahan. Kalau gigi berlubang bikin sakit kepala, ya sudah cabut saja. Kalau tongkrongan yang toxic bikin sakit hati, ya sudah cabut saja. Nggak perlu bikin konten TikTok pakai sound Toxic – BoyWithUke (All my friends are toxic).

Selain gigi berlubang, ada beberapa kondisi yang memerlukan operasi pencabutan gigi. Misalnya, kondisi istimewa dimana gigi tak beraturan karena keterbatasan ruang di dalam rahang untuk menampung semua gigi. Tak jarang dokter gigi menyarankan pencabutan gigi untuk selanjutnya dipasangkan kawat gigi supaya lebih rapi. Yeah, gigi rapi adalah impian semua orang. Termasuk Gigi-Raffi.

Selain itu, ada kondisi ketika seseorang rentan terhadap infeksi. Misalnya, saat kemoterapi atau setelah transplantasi organ. Maka, perlu dilakukan pencabutan gigi supaya terhindar dari risiko terinfeksi pada gigi berlubang.

Penyakit gusi yang parah juga bisa menjadi alasan seseorang perlu dicabut giginya. Sebab radang jaringan pada pendukung gigi dapat membuat gigi goyang sehingga kehilangan fungsi normalnya. Sehingga jalan yang perlu ditempuh adalah pencabutan gigi.

Mungkin bagi sebagian orang, mencabut gigi adalah momen yang mengerikan. Tentu saja, cabut gigi tak semudah cabut dari tongkrongan. Namun, jika itu yang diperlukan, mau tak mau, kita harus menjalaninya. Semua demi kesehatan gigi dan mulut.

Selama hidup, saya belum pernah datang ke dokter gigi untuk pencabutan gigi. Namun, pengalaman pertama datang ke klinik gigi adalah momen yang melegakan. Kala itu, saya menjajal layanan scaling pakai BPJS Kesehatan.

Scaling sendiri adalah prosedur pembersihan gigi dengan menggunakan alat yang disebut ultrasonic scaler. Jadi, ketika kamu minta layanan scaling di resepsionis klinik gigi, maka karang gigi di dalam mulut kamu bakalan dibersihkan oleh dokter gigi bersama perawatnya. Mirip reka adegan dokter gigi Yoon Hye Jin bersama rekannya di drakor Hometown Cha-Cha-Cha.

Sewaktu kali pertama saya di-scaling, teman kantor saya menyaksikan prosesnya. Bagaimana karang-karang di gigi saya disikat habis. Penggambarannya mungkin seperti adegan perang di film sejarah ya. Sebab kata teman saya, sisa jajan saya pas SD yang tertinggal di gigi juga ikut tersapu bersih.

Karang gigi memang bermula dari sisa makanan yang menyangkut di gigi. Kotoran itu luput dari sapuan sikat gigi ketika kita menggosok gigi. Lalu berubah jadi plak yang mengendap, lambat-laun mengeras di permukaan gigi.

Alhasil, setelah scaling, saya merasa plong. Gusi saya yang semula menempel di karang gigi, kini menempel di gigi. Saya jadi percaya diri untuk tersenyum. Malahan ketika senyum, gigi saya yang kini jarang-jarang (semula rapat karena karang gigi) jadi semriwing terkena angin sepoi-sepoi.

Setelah pengalaman pertama scaling gigi yang menyenangkan tersebut, saya jadi rutin scaling gigi setidaknya setahun sekali. Tak lupa menjaga kebersihan gigi dengan menggosok gigi pakai pasta gigi yang bagus. Selain itu, rutin mengganti sikat gigi 3 bulan sekali. Jadi, tak perlu tunggu bulu sikat amburadul dulu, baru ganti.

Saya juga disarankan beli benang gigi untuk membersihkan sisa makanan, dan saya menuruti saran itu. Untuk beberapa waktu, saya tidak pakai tusuk gigi yang disediakan di dalam tenda pecel lele.

Ingatlah, menjaga gigi bukan hanya tugas Raffi Ahmad.




Komentar