Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Minyak Goreng Terakhir di Bumi

 “Bagaimana kalau bukan karena ada penimbunan yang menjadikan minyak goreng langka?”

“Terus apa yang terjadi sebenarnya?”

“Ada alien raksasa yang menginvasi bumi. Jadi, para superhero yang tidak bisa mengalahkannya harus menuruti permintaan sang monster untuk menyajikan makanan kesukaannya.”

“Makanan kesukaannya?”

“Ayam goreng. Berhubung porsi makannya monster ini banyak sekali, jadi para superhero harus menyiapkan kuali raksasa untuk memasak berton-ton ayam goreng. Tentu banyak minyak goreng yang dibutuhkan. Meniriskan ayamnya saja mungkin harus diangkut pakai crane.”

“Kenapa harus kasih makan monster?”

“Ya kalau dia lapar, ngamuk, bisa mengacak-acak seluruh kota dan menghancurkan dunia. Namun, cara tersebut juga strategi untuk membunuh monsternya secara perlahan-lahan. Harapannya, karena tiap hari makan junk food, monsternya kena kolestrol, terus kena serangan jantung, mati. Dunia berhasil diselamatkan.”

Begitulah percakapan dua bocah yang mengantre di depanku. Mereka sedang berteori liar tentang kelangkaan minyak goreng di pasaran. Untunglah, aku berhasil meminang minyak goreng yang menjadi stok terakhir di minimarket ini. Selama mengantre, aku menimangnya dengan bangga.

Minyak goreng menjadi barang langka belakangan ini. Minyak goreng adalah dinosaurus dan kebutuhan masyarakat terhadap masakan yang digoreng menjadi meteor yang menghantamnya. Namun, konon, dinosaurus masih hidup sampai sekarang, tetapi bersembunyi di perut bumi. Begitu juga dengan minyak goreng.

Setelah berhasil mendapatkan minyak goreng yang langka, aku buru-buru keluar minimarket. Bergegas, aku menyalakan mesin motor dan tancap gas saat tukang parkir meniupkan peluit. Namun, gara-gara mengebut, plastik minimarket yang tipis pun robek. Otomatis kemasan pouch minyak goreng terjatuh dan pecah di jalan.

Ya ampun, demi menghindari biaya parkir dua ribu rupiah, aku harus kehilangan minyak goreng yang berharga. Di masa sulit ini, minyak goreng sudah seperti emas dan aku baru saja menyia-nyiakan emas itu. Mas-mas macam apa aku ini?

Baiklah, berduka tidak akan mengembalikan minyak goreng yang tercecer di jalan ke bentuk kemasan semula. Aku harus berburu minyak goreng lagi.

Targetku kali ini adalah minimarket di kampung sebelah. Aku memacu kendaraanku menuju lokasi. Sesampainya di sana, sudah ada seorang ibu paruh baya yang menimang dua pouch minyak goreng layaknya anak kembar.

Kasir menyetop aksi si ibu yang panic buying. “Maaf, Bu. Satu orang hanya boleh membeli satu item.”

“Tapi, ini buat tetangga saya yang nitip,” kilah si ibu.

Ibunya buka jastip (jasa titip)?

“Maaf, peraturannya begitu, Bu.” Kasir pun meminta kepada si ibu untuk mengembalikan minyak gorengnya ke tempat semula.

Ketika si ibu mengembalikan minyak goreng ke rak, selain aku, ada sepasang mata yang mengicarnya. Sebelum minyak goreng itu disikat pembeli lain, aku berjalan cepat untuk meraihnya. Aksi yang sama dilakukan oleh pemilik mata yang memburunya sejak tadi.

Aku adalah pemburu yang mentalnya ditempa oleh tragedi kehilangan yang baru saja kualami. Belajar dari rasa sakit itu aku bertumbuh. Kemampuanku meningkat. Mekanisme pertahanan diriku berfungsi optimal. Responsku lebih cepat dari kompetitorku. Aku berhasil merangkul kemasan minyak goreng terakhir. Sementara ia hanya meraih udara kosong.

Setelah mengalahkan pesaing dalam perebutan minyak goreng terakhir, aku melenggang menuju kasir bagaikan kampiun. Minyak goreng di pelukanku adalah piala.

Belajar dari pengalaman, aku memeluk minyak goreng bagaikan anak semata wayangku. Selama berkendara menuju rumah, aku menjaganya dengan seluruh hidupku. Tangan satu memeluk minyak, tangan yang lain ngegas.

Dalam perjalanan, aku sempat memicingkan mata ke kaca spion. Di belakang motorku, ada lelaki yang tadi berebut minyak goreng denganku di minimarket. Hah? Apakah dia mengikutiku? Apa yang diinginkannya? Minyak goreng ini? O, tidak bisa!

Aku mempercepat laju motorku, meninggalkan sang penguntit.

Namun, sang penguntit bisa menyusulku dan motornya telah sejajar dengan motorku. Kami sama-sama berhenti ketika lalu lalu lintas berwarna merah.

Dia membuka kaca helm dan berkata, “Boleh minta tolong?”

Aku menggelengkan kepala, tancap gas, terabas lampu merah. Aku bukan superhero, jadi tidak hobi menolong sesama.

Setelah sampai depan rumah, aku merasa seperti pembalap yang mencapai garis finish. Aku membuka pintu rumah dan disambut istriku yang sedang sibuk. Ia telaten menyusun ribuan kemasan minyak goreng yang kami kumpulkan selama ini. Bagaimana ia bisa menempatkan 10 ton minyak goreng di dalam rumah yang tak begitu luas secara rapi, jawabannya adalah ia jago main tetris.

Aku menaruh minyak goreng terakhir di puncak tumpukan minyak goreng. Di sinilah bisnis kumulai dari nol. Aku menyapa tetangga di grup WA dengan foto minyak goreng yang mereka butuhkan.

Rata-rata dari mereka mengeluhkan harga yang kutawarkan terlalu mahal. Namun, biarpun mulut misuh-misuh, mereka tetap beli karena butuh.

Ketika aku mengantarkan minyak goreng ke rumah pembeli, orang-orang berlarian panik di jalan. Lalu aku melihat raksasa mengacak-acak kota, seperti anak kecil ngamuk minta digorengin nugget. 





Komentar