Sewaktu belum menikah, saya tinggal sendiri di sebuah perumahan.
Tetangga kanan-kiri rata-rata sudah menikah dan punya anak. Sementara saya,
dapur saja nggak punya. Sesuai dengan model rumah dari developernya yang belum
termasuk dapur.
Kalau ada istilah “kerja demi asap dapur tetap
ngebul”, saya nggak relate. Dapurnya aja nggak ada. Jadi jargon saya waktu itu
“kerja demi asap knalpot ojol ngebul”. Gofood terooos.
Setelah menikah, barulah dibangun dapur. Istri pun bisa masak
sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang menjajal resep yang biasa ditontonnya di resep
DEBM.
Selama tinggal di perumahan, istri sempat panik pas saya tiba-tiba
menghilang di hari Minggu. Padahal dia sudah masakin sarapan kesukaan saya.
Sampai makanannya dingin, batang hidung saya belum muncul juga. Mana hape saya
tinggal di rumah.
Setelah balik ke rumah sekitar dua jam kemudian, barulah saya
kasih tahu kalau saya habis diculik. Tepatnya, diculik tetangga untuk ikut
kerja bakti bangun pos ronda.
Yeah, di lingkungan tempat saya tinggal ini menerapkan sistem
ronda bergilir. Jadi, pas saya kebagian jadwal ronda, istri tidur sendiri di
rumah. Kalau ada kecoa masuk rumah, saya nggak bisa bantu ngusir. Sebab malam
itu saya sedang bertugas mengusir maling. Jadilah istri saya cuma bisa
bernyanyi lagu Idgitaf, “Aku sudah dewasa, aku takut kecoa.”
Selama menikah, saya dan istri tak pernah terpisahkan. Cuma pas
jadwal ronda saja saya tidak tidur di rumah. Malah nggak tidur sama sekali
karena main UNO bareng tetangga di pos ronda sampai Subuh.
Pengalaman berbeda ketika saya dan istri menginap di apartemen.
Saat istri ada jadwal meeting yang mengharuskannya hadir di kantornya di Tebet,
kami meninggalkan rumah dan bermalam di apartemen di kawasan Duret Sawit, Jakarta
Timur.
Tinggal di apartemen, tentu nggak ada jadwal rondanya. Sebab
fasilitas keamanan dan kebersihan sudah tercover dengan biaya maintenance yang
tiap bulan ditagihkan ke tiap penghuni.
Di perumahan, kita bisa bertegur sapa dengan tetangga sebelah rumah.
Sementara di apartemen, penghuni unit sebelah juga nggak tahu siapa. Ada
orangnya apa kagak juga kita kagak ngerti.
Dari segi sosial, apartemen menawarkan privasi, yang kadang memang
kita butuhkan apabila ingin fokus kerja. Sementara perumahan mengedepankan
kebersamaan, bahkan kekompakan, seperti semboyan ketua RT di grup WA perumahan,
yang seminggu sekali bisa ngajakin rapat. Jadi ya dianjurkan untuk
bermasyarakat, sebab kalau tertutup, entar dijulidin tetangga, paling parah
disangka buronan BNPT yang sedang dalam persembunyian.
Dari segi bangunan, rumah punya halaman. Yang bisa kita tata dan
hias seperti main gim Homescapes, bahkan Harvest Moon kalau kamu suka berkebun.
Sementara tinggal di unit apartemen, buka pintu belakang, langsung balkon dan
langit. Ya bisalah ngopi sambil main layangan. Atau menerbangkan drone, kalau
punya.
Kalau pesan makanan via ojol, biasanya saya tinggal buka pintu
rumah, terima pesanan, “terima kasih, Pak!”, langsung makan. Pas di apartemen,
saya harus rutin mengecek maps, “nih ojolnya sudah sampai mana ya?” Ketika
sudah dekat, saya buka pintu unit, buru-buru jalan ke pintu lift, menuruni
belasan lantai. Ketika sampai lobby, saya harus mencari ojol yang membawa
makanan saya di tengah ojol-ojol lain yang menanti pelanggan masing-masing.
Belum lagi, kalau lupa bawa kartu akses lift, wah, pas balik ke
unit, saya harus pakai cara manual, yaitu menaiki ribuan anak tangga. Setelah
naik tangga belasan lantai, makan satu porsi nasi bebek boleh beli di gofood
tadi aja berasanya masih kurang. Rasanya ingin pesen makanan lagi.
Membandingkan tinggal di perumahan dan apartemen memang ada plus-minusnya. Mungkin bakalan banyak plus-plusnya kalau saya pindah rumah ke Bukit Podomoro Jakarta yang letaknya masih di Duren Sawit, Jakarta Timur juga. Dekat bandara Halim. Sudahlah lokasinya strategis, fasilitasnya juga lengkap. Segala kolam renang, lapangan tenis, club house, gym, bahkan arena bowling juga sedia. Keamanan 24 jam per 7 hari, nggak perlu ronda lagi.
Sumber gambar: https://www.bukit-podomoro-jakarta.com/ |
Komentar
Posting Komentar