Di suatu siang, teman kerja saya yang bernama Rohan mendapatkan panggilan telepon dari nomor tak dikenal.
Suara di seberang sana menyapa Rohan, “Sedang apa, Bro?”
Baru terbangun dari tidur karena dering hape, Rohan menjawab setengah sadar, “Baru bangun tidur nih. Ini siapa ya?”
“Ini gue! Masa nggak kenal dari suaranya?” ucap pria di seberang sana.
“Siapa ya?” Rohan bingung.
“Nomor gue nggak di-save di kontak?” tanya pria di seberang sana.
“Iya, nggak ada namanya.” Rohan menjawab polos. “Tapi ini siapa ya?”
“Masa udah lupa sama gue?! Padahal baru tadi ketemu.” Pria misterius itu mulai sok akrab.
Dengan jebakan kalimat “Baru tadi ketemu”, Rohan masuk perangkap. Rohan pun mulai menyebut nama saya, “Ini Pak Haris ya?”
“Iya!” Pria tanpa nama itu langsung menjual nama Haris.
“Kenapa, Pak Haris?” Rohan mulai membukakan jalan kepada Haris Gadungan.
“Ini nih, gue mau minta tolong. Gue baru aja kena tilang. Mau bayar denda tilang, tapi nggak ada saldo di rekening bank gue. Bisa pakai duit lo dulu, nggak? Nanti besok gue ganti deh,” pinta Haris Gadungan.
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Rohan menuruti permintaan Haris Gadungan. Rohan memacu sepeda motornya menuju mesin ATM terdekat. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, Haris Gadungan berhasil dapat transferan 200.000 masuk ke rekening banknya.
Setelah dapat uang dari Rohan yang polos dan kebetulan baru bangun tidur, Haris Gadungan lenyap. Beberapa kali, Rohan menelepon nomor Haris Gadungan, tak kunjung dijawab. Padahal Rohan hanya ingin konfirmasi bahwa uangnya sudah ditransfer. Namun, ucapan terima kasih pun tak didapatkannya.
Akhirnya, Rohan menghubungi nomor saya, Haris yang Asli. Hal pertama yang seharusnya dilakukannya, justru menjadi langkah terakhirnya untuk mengungkap kasus penipuan terbesar pada hari itu.
“Pak Haris, saya udah transfer uangnya ya,” kata Rohan usai mengucap salam.
“Hah?” Saya bingung.
“Iya, katanya tadi Pak Haris pinjam uang saya, udah saya kirim tuh,” ucap Rohan.
“Hah?” Saya makin bingung.
“Udah masuk kan transferannya?” lanjut Rohan.
“Hah?” Saya masih bingung.
“Besok balikin ya uangnya!” pungkas Rohan.
“Apa?” Saya langsung menemui Rohan di ATM terdekat.
Saya menjelaskan pada Rohan bahwa saya tidak punya nomor lain selain nomor yang saya pakai saat ini. Saya juga menerangkan bahwa saya tidak sedang kena tilang dan tidak pernah berniat pinjam uang padanya. Yang terpenting, bukan saya yang meneleponnya barusan.
“Tapi suaranya mirip,” kilah Rohan.
Saya membenamkan wajah ke telapak tangan. Masa suara saya disamakan dengan suara pelaku penipuan. Bah!
Akhirnya, sore yang indah itu dikacaukan oleh perkataan Rohan yang seenaknya.
“Ya udah, Pak. Saya minta balikin uang 200 ribunya,” ucap Rohan.
“Hah?” Saya bingung lagi.
“Soalnya saya berani pinjemin juga karena dijanjiin besok dibalikin,” lanjut Rohan.
“Hah?” Saya bingung kuadrat jadinya.
“Ya, udah, Pak, mana uangnya?” pinta Rohan.
“Hah?” Tapi, tapi, tapi kan bukan saya yang menjanjikan itu, Bro.
“Itu uang saya sampai gajian. Kalau bukan Pak Haris yang minjem mah nggak saya kasih loh,” terang Rohan memelas.
“Apa?” Saya tak habis pikir. Akhirnya, saya menyerahkan dua lembar uang pecahan 100 ribu rupiah kepada Rohan, dengan catatan dipotong kasbon pas gajian. Yang kena tipu siapa, yang menanggung akibatnya siapa. Nasib jadi admin keuangan di kantor.
Apa yang menimpa Rohan adalah rekayasa sosial alias Social Engineering (Soceng). Sebenarnya, modus penipuan ini sudah sering dilakukan oleh pelaku kejahatan. Namun, masih saja banyak korban yang terjebak dengan manipulasi psikologi yang dilancarkan sang kriminal.
Dari cerita di atas, pertama-tama pelaku bakalan mendesak calon korbannya untuk mengingat nama kerabat terdekat. Calon korban yang tak awas serta-merta menyebutkan sebuah nama. Nama itulah yang dipakai penipu untuk memperdaya calon korbannya. Jika umpannya kemakan, korban resmi masuk perangkap.
Liciknya, pelaku bahkan tidak perlu repot mengaku sebagai siapa-siapa, dia justru menunggu korban yang menyebutkan nama kunci. Nama kunci inilah yang dijadikan akses untuk masuk ke kepala korban. Dari sini korban yang percaya-percaya saja bisa diarahkan untuk melakukan aktivitas yang diinginkan pelaku, seperti transfer sejumlah uang, kirim pulsa, atau bahkan check out keranjang di marketplace.
Di era digital yang semakin maju, pelaku kejahatan dengan senjata soceng telah merambah ke ranah siber. Sebanyak 13 jenis kejahatan internet bisa mengancam siapa saja di dunia siber: phising, spoofing, cracking, serangan Ransomware, serangan DDoS, injeksi SQL, carding, peretasan situs dan email, penipuan OTP, pemalsuan data, cyber espionage, pemalsuan identitas, cyber terrorism.
Namun, kita bisa menangkis jerat tipu daya itu dengan kiat-kiat berikut: kroscek, konfirmasi, cek dan ricek. Itulah mengapa kita harus menjadi Nasabah Bijak, dimulai dengan melindungi data diri dari kejahatan siber. Jika mendapatkan telepon, SMS, atau chat dari nomor tak dikenal, segera waspada dan lakukan kroscek, konfirmasi, cek dan ricek.
Bermain media sosial pun bisa jadi sasaran empuk para pelaku kejahatan yang menyasar DM dan inbox. Jadi, lindungi data diri seperti menjaga nyawa sendiri.
Supaya kejahatan siber dapat diredam, kita juga perlu menjadi Penyuluh Digital yang memberikan edukasi dan literasi keuangan kepada teman-teman di internet. Salah satunya dengan bantu sukseskan gerakan #NasabahBijak yang bekerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Komentar
Posting Komentar