Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Bjorka Nge-hack Biar Apa?

Nama Bjorka menjadi trending di media sosial setelah aksi sang anonim dalam membongkar data rahasia negara. Banyak yang mengelu-elukan serangan hacker misterius itu, bahkan menjadikan pelakunya seolah pahlawan. Sudah seperti nonton film Mencuri Raden Saleh saja ya?

Sejatinya, tindakan hacking adalah kejahatan dan tidak bisa dibenarkan. Jika kamu pernah menjadi korban hack, tentunya bakalan merasa trauma dengan berita terkait peretasan.

Awal tahun 2010, saya bercita-cita menjadi penulis buku seperti idola saya, JK Rowling, Andrea Hirata, dan Raditya Dika. Upaya saya dalam mewujudkan mimpi tersebut adalah rajin mengikuti lomba cerpen. Namun, tidak semua lomba bisa saya menangkan. Kalaupun menang dan cerpen saya terpilih untuk diterbitkan dalam sebuah antologi, saya tidak mendapatkan bayaran sepeser pun. Sebab antologi cerpennya diterbitkan secara indie. Rasanya masih jauh jalan saya untuk mendapatkan penghasilan dari royalti buku seperti penulis best seller yang saya kagumi.

Ada juga momen ketika saya menang lomba cerpen, tetapi panitia lombanya meminta para penulis berkorban waktu. Kami diminta menunggu lama untuk kabar kapan diterbitkannya karya kami dalam bentuk buku cetak. Ternyata berkorban waktu saja tidak cukup, panitia meminta kami berkorban materi juga. Kami diminta urunan dana untuk biaya penerbitannya. Tentu saja, saya dan teman-teman penulis menolak hal tersebut. Menulis bukannya dapat uang, malah keluar uang, mana rela?

Untuk mengasah skill menulis, saya membiasakan diri menulis diari digital di Facebook. Satu tulisan satu hari. Harapannya, saya bisa terbiasa menulis setiap hari, dalam kondisi apapun. Selain itu, meningkatkan kemampuan saya dalam merangkai kata.

Dari aktivitas positif itu, saya dipertemukan oleh teman-teman sehobi. Mereka sama-sama suka menulis seperti halnya saya. Ada juga yang hobinya membaca, termasuk baca curhatan orang asing di Facebook seperti yang saya lakukan. Tak dinyana, hobi menulis saya dapat membangun koneksi dengan teman-teman di dunia literasi.

Namun, setiap perjalanan ada saja hambatannya. Di satu hari, saya pernah menulis cerita sehari-hari di note Facebook. Tiba-tiba, saya keluar dari akun Facebook saya sendiri. Apa yang telah saya tulis hari itu hilang.


Ketika saya mencoba masuk kembali ke akun FB, saya menemukan kendala. Kata sandi yang saya masukkan salah. Fix, saya kena hack. Mimpi saya untuk menjadi penulis buku terhalang oleh aktivitas hacking oleh oknum entah siapa. Gara-gara masalah ini, saya tidak bisa menulis lagi.

Kepada kolega yang punya minat tinggi di dunia teknologi, saya meminta pertolongan untuk mengembalikan akun FB saya yang kena retas. Sang kolega membantu saya dengan senang hati.

Tak menunggu waktu lama, akun saya pun kembali ke tangan saya. Dari cerita ini, saya menganggap kolega saya yang jago IT tersebut sebagai pahlawan.

Belakangan, sang kolega mengaku bahwa dirinya lah yang meretas akun saya. Alasannya, dia ingin mencoba skill hacking yang baru dipelajarinya. Dia melihat saya sebagai target latihan yang cocok karena saya termasuk pengguna aktif di Facebook. Jadi, ketika saya yang biasa aktif tiba-tiba menghilang dari peredaran media sosial, berarti percobaan hacking yang dilakukannya telah berhasil.

Dari situlah saya berpikir bahwa saya seharusnya tidak cepat-cepat melabeli seseorang sebagai pahlawan. Begitulah dengan Bjorka. Hacker tersebut tidak bisa disebut pahlawan. Bukankah dia yang santer diberitakan sebagai pelaku yang membobol data masyarakat dan menjual data tersebut ke pasar gelap? Masa kita harus berterima kasih kepada pihak yang menjadikan privasi kita sebagai komoditas?

Komentar