Pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bisa jadi jerat berbahaya di dunia digital. Iklan pinjol sendiri sudah menjamur di berbagai platform. Ketika main game gratis boleh download dari Play Store bisa jadi kamu bakalan diserang oleh iklan-iklan bernuansa pinjol.
Di iklan, pinjol seperti malaikat penolong di saat dompet nabasah kosong. Dengan proses cair yang terbilang mudah dan cepat, pinjol seolah menjadi solusi dari masalah finansial di tanggal tua. Telat gajian? Pinjol bisa membantu. Butuh dana darurat? Pinjol bisa merangkul.
Namun, bunga yang dipatok pinjol tidak main-main. Apalagi kalau kamu telat bayar, bisa kena denda.
Saya sendiri pernah mengajukan pinjaman online di sebuah platform. Proses pencairannya memang sat-set sat-set. Ditambah waktu itu ada promo potongan cicilan. Namun, kalau ditotal-total, bunganya sangat tinggi dan bikin kapok pinjam lagi.
Saat itu, syaratnya cukup mudah. Tinggal foto selfie dengan KTP. Lalu mengisi form ini-itu. Tak menunggu waktu lama, saldo di rekening bertambah seperti baru dapat warisan, tetapi ini utang yang perlu dibayarkan dengan cara mencicil.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan bunga fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online di kisaran 0,3%-0,4% per hari. Namun, kalau dikalkulasikan setahun bisa mencapai 146% per tahun. Bukan main.
Kalau dipikir-pikir, pinjol sangat merugikan. Namun, waktu itu saya tidak banyak pikir. Saya tergiur untuk pinjol karena lingkaran pertemanan saya adalah orang-orang yang menjadikan cicilan sebagai penyemangat hidup.
Teman saya yang bernama Itadori memiliki kredit mobil dan kredit barang elektronik dalam satu waktu. Namun, Itadori menganggap beban itu sebagai pemacu semangat untuk lebih giat mencari job sampingan.
Sementara teman saya yang bernama Gojo memiliki angsuran KPR yang nyaris sama besarannya dengan gajinya sebulan. Namun, hal itu justru membuatnya getol kerja lembur sampai malam hampir tiap hari untuk memungkinkan matematika dalam rumah tangganya masuk akal.
Berkaca dari Itadori dan Gojo, saya pun terinspirasi untuk berani mengambil pinjaman online. Waktu itu saya mengambil pinjaman sampai mentok limit. Namun, ternyata kebutuhan saya saat itu hanya perlu setengah dari total pinjaman. Lalu untuk apa saya pinjam melebihi kebutuhan saya?
Alhasil, sisa uang hasil pengajuan pinjol itu mengendap di rekening bank. Ujung-ujungnya, uang itu dipakai untuk membayar angsuran per bulannya. Tentu saja tindakan ini sangat ceroboh.
Yang lebih bikin ngeri, saat saya telat bayar cicilan, telepon saya diteror oleh miss call dari nomor-nomor tak dikenal. Ketika diangkat, ternyata itu telepon dari debt collector yang mengingatkan saya untuk bayar cicilan.
Dari situlah saya mulai sadar bahwa berutang tidak pas untuk jadi pendorong semangat kerja. Apalagi bagi orang yang gampang merasa terganggu dengan desakan orang lain.
Ditambah, teman saya Itadori mulai dikejar debt collector yang mengincar mobilnya yang telat tiga bulan. Kabar lain dari teman saya Gojo, rumahnya sering didatangi pihak bank. Sampai akhirnya, Gojo melakukan over kredit rumah. Gojo harus melepas rumah kesayangannya.
Ah, perkara utang bikin kami bertiga jadi tertekan.
Setelah itu, saya berusaha melunasi pinjol. Ternyata saya tidak sepenuhnya lepas dari teror setelah utang saya lunas. Sebab telemarketing dari pinjol itu berkali-kali menelepon nomor saya untuk menawarkan pinjaman berikutnya. Beberapa kali saya tolak pun nomor-nomor itu tetap datang merayu saya untuk berutang lagi.
Pelajaran finansial nomor satu: Sekali pinjol bikin kamu diteror, terlepas gagal bayar atau lancar.
Komentar
Posting Komentar