Sewaktu masih sekolah, saya sering mampir ke toko buku untuk mengintip buku kumpulan humor di rak genre humor. Dari buku-buku itulah saya mendapatkan hiburan sekaligus bahan lawakan untuk ditampilkan di tongkrongan.
Pada zamannya, buku kumpulan humor tersedia dalam berbagai edisi. Dari mulai jokes kodian edisi dokter, polisi, politisi, sampai pemuka agama. Bahkan lelucon Gus Dur dikumpulkan menjadi satu buku sendiri.
Seiring kemajuan internet dan teknologi digital, buku-buku humor itu mulai punah. Buku kumpulan SMS kocak yang dulu sempat membanjiri toko buku, kini terbilang sudah langka. Alasannya sudah jelas, SMS nyaris tidak relevan lagi, termasuk SMS kocak.
Dewasa ini, fitur SMS seringnya digunakan untuk mengirim kode OTP. Beberapa orang yang masih setia dengan fitur SMS memanfaatkannya untuk menjebak nomor-nomor HP secara acak. Modusnya lawas, yakni SMS pemenang undian dapat hadiah ratusan juta. Siapa yang percaya?
Kini, buku kumpulan SMS kocak sudah terganti dengan kumpulan tangkapan layar chat lucu yang dikumpulkan oleh akun-akun pengepul meme dan shitposting di media sosial. Chat-chat itu bersumber dari percakapan WhatsApp dosen dan mahasiswa, pembeli dan seller di marketplace, sampai driver ojol dan customer yang berlaku kocak.
Walaupun buku kumpulan humor sudah tinggal sejarah, tetapi humor masih tetap hidup sampai kini. Bedanya, dulu kita harus membaca buku kumpulan humor untuk tertawa. Kini, kita harus membuka hape dan nonton TikTok. Humor tetap bisa bertahan hidup di dunia digital.
TikTok bisa menjadi apa saja yang penggunanya mau. Algoritma memang semagis itu. Ketika saya merindukan buku kumpulan humor, TikTok menyajikan video-video lucu. Tak jarang video lucu di internet adalah bentuk daur ulang dari jokes kodian yang biasa kita temui di buku kumpulan humor tempo doeloe.
Keajaiban TikTok belum bisa disamai oleh Instagram Reels dan YouTube Shorts. Sepengamatan saya, penyuplai konten untuk Reels dan Shorts belum seberagam konten kreator di TikTok. Di TikTok, hampir semua umur membuat konten. Dari mulai anak-anak, remaja, dewasa sampai kakek-nenek pun bisa kita jumpai di fitur FYP (for your page).
TikTok juga digunakan oleh semua kelas masyarakat. Dari rakyat sampai pejabat. Dari pengamen sampai selebritis. TikTok juga membuka mata kita untuk melihat keadaan terkini saudara-saudara nun jauh di sana. Itulah sumbangsih TikTokers di seluruh pelosok negeri untuk keberagaman konten yang diolah oleh algoritma menjadi FYP.
FYP TikTok membuat kita betah berlama-lama scroll untuk mendapatkan kesenangan instan. Sementara Reels masih setia dengan imej Instagramable. Seringkali saya mendapati konten Reels bertema healing, liburan, traveling, staycation, dan semacamnya dengan latar belakang keindahan alam. Tak lupa latar musik yang relevan atau sound dari kutipan viral emak-emak pehobi mancing yang terdengar nyambung dengan konten vakansi, “Kalau di rumah, sumpek gitu pikiran.”
Sementara YouTube masih harus berusaha keras jika ingin menyaingi TikTok dengan fitur Shorts. Fitur Shorts jatuh sebagai teaser atau cuplikan pendek dari konten yang harus ditonton lengkap di video utama YouTube. Shorts juga seringkali menampilkan kutipan-kutipan pesohor yang diambil dari podcast.
Bagi YouTubers selaku kreator konten, fitur Shorts bisa dijadikan ajang promosi untuk koleksi konten mereka di etalase YouTube. Sementara manfaat bagi penonton, Shorts dapat memberikan pengalaman menonton video langsung ke intinya, tanpa perlu menyimak video utuhnya secara keseluruhan yang panjangnya memakan banyak waktu dan kuota internet.
Biar begitu, TikTok, Instagram Reels maupun YouTube Shorts tetaplah menghanyutkan bagi kaum rebahan. Kalau sudah nonton, bawaannya pengen terus scroll-scroll sampai mentok. Namanya juga kebutuhan hiburan instan.
Komentar
Posting Komentar