Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Terhanyut dalam TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts

Sewaktu masih sekolah, saya sering mampir ke toko buku untuk mengintip buku kumpulan humor di rak genre humor. Dari buku-buku itulah saya mendapatkan hiburan sekaligus bahan lawakan untuk ditampilkan di tongkrongan.

Pada zamannya, buku kumpulan humor tersedia dalam berbagai edisi. Dari mulai jokes kodian edisi dokter, polisi, politisi, sampai pemuka agama. Bahkan lelucon Gus Dur dikumpulkan menjadi satu buku sendiri.

Seiring kemajuan internet dan teknologi digital, buku-buku humor itu mulai punah. Buku kumpulan SMS kocak yang dulu sempat membanjiri toko buku, kini terbilang sudah langka.  Alasannya sudah jelas, SMS nyaris tidak relevan lagi, termasuk SMS kocak. 

Dewasa ini, fitur SMS seringnya digunakan untuk mengirim kode OTP. Beberapa orang yang masih setia dengan fitur SMS memanfaatkannya untuk menjebak nomor-nomor HP secara acak. Modusnya lawas, yakni SMS pemenang undian dapat hadiah ratusan juta. Siapa yang percaya?

Kini, buku kumpulan SMS kocak sudah terganti dengan kumpulan tangkapan layar chat lucu yang dikumpulkan oleh akun-akun pengepul meme dan shitposting di media sosial. Chat-chat itu bersumber dari percakapan WhatsApp dosen dan mahasiswa, pembeli dan seller di marketplace, sampai driver ojol dan customer yang berlaku kocak.

Walaupun buku kumpulan humor sudah tinggal sejarah, tetapi humor masih tetap hidup sampai kini. Bedanya, dulu kita harus membaca buku kumpulan humor untuk tertawa. Kini, kita harus membuka hape dan nonton TikTok. Humor tetap bisa bertahan hidup di dunia digital.

TikTok bisa menjadi apa saja yang penggunanya mau. Algoritma memang semagis itu. Ketika saya merindukan buku kumpulan humor, TikTok menyajikan video-video lucu. Tak jarang video lucu di internet adalah bentuk daur ulang dari jokes kodian yang biasa kita temui di buku kumpulan humor tempo doeloe.

Arif Brata

Keajaiban TikTok belum bisa disamai oleh Instagram Reels dan YouTube Shorts. Sepengamatan saya, penyuplai konten untuk Reels dan Shorts belum seberagam konten kreator di TikTok. Di TikTok, hampir semua umur membuat konten. Dari mulai anak-anak, remaja, dewasa sampai kakek-nenek pun bisa kita jumpai di fitur FYP (for your page).

TikTok juga digunakan oleh semua kelas masyarakat. Dari rakyat sampai pejabat. Dari pengamen sampai selebritis. TikTok juga membuka mata kita untuk melihat keadaan terkini saudara-saudara nun jauh di sana. Itulah sumbangsih TikTokers di seluruh pelosok negeri untuk keberagaman konten yang diolah oleh algoritma menjadi FYP.

FYP TikTok membuat kita betah berlama-lama scroll untuk mendapatkan kesenangan instan. Sementara Reels masih setia dengan imej Instagramable. Seringkali saya mendapati konten Reels bertema healing, liburan, traveling, staycation, dan semacamnya dengan latar belakang keindahan alam. Tak lupa latar musik yang relevan atau sound dari kutipan viral emak-emak pehobi mancing yang terdengar nyambung dengan konten vakansi, “Kalau di rumah, sumpek gitu pikiran.”

Sementara YouTube masih harus berusaha keras jika ingin menyaingi TikTok dengan fitur Shorts. Fitur Shorts jatuh sebagai teaser atau cuplikan pendek dari konten yang harus ditonton lengkap di video utama YouTube. Shorts juga seringkali menampilkan kutipan-kutipan pesohor yang diambil dari podcast.

Bagi YouTubers selaku kreator konten, fitur Shorts bisa dijadikan ajang promosi untuk koleksi konten mereka di etalase YouTube. Sementara manfaat bagi penonton, Shorts dapat memberikan pengalaman menonton video langsung ke intinya, tanpa perlu menyimak video utuhnya secara keseluruhan yang panjangnya memakan banyak waktu dan kuota internet. 

Biar begitu, TikTok, Instagram Reels maupun YouTube Shorts tetaplah menghanyutkan bagi kaum rebahan. Kalau sudah nonton, bawaannya pengen terus scroll-scroll sampai mentok. Namanya juga kebutuhan hiburan instan.

Komentar

Terpopuler

22 Peran di Game Werewolf Telegram

Lepas dari candu Pokemon GO , saya keranjingan main Werewolf. Tapi permainan yang mengasah suudzon skill ini tidak saya lakukan bersama para youtuber dan stand up comedian seperti yang dilakukan Raditya Dika di istananya pada vlog beliau. Saya melakukannya di aplikasi chatting bernama Telegram yang bisa diunduh di Play Store . Cara bermainnya sederhana: jika kita adalah warga desa, maka kita harus membasmi serigala sampai habis. Dan jika kita adalah serigala, makan semua warga desa. Di malam hari, serigala memangsa warga desa. Di siang hari, warga desa melakukan vote untuk menentukan siapa tertuduh serigala yang mesti digantung. Yang bikin greget adalah kita nggak tahu peran pemain lainnya. Permainan Werewolf versi bot Telegram ini menyuguhkan berbagai peran yang unik. Berikut adalah peran-peran yang bisa didapatkan selama main Werewolf. sumber: www.deviantart.com

Ada Apa dengan Mamet?

Nama saya Rangga. Saya hanyalah seorang pelajar SMA biasa. Saya lebih memilih mengisi jam istirahat dengan baca buku di perpustakaan daripada baca koran di toilet khusus guru. sumber: Google Image Semua berubah ketika Pak Wardiman sang penjaga sekolah, tanpa sepengetahuan saya, mengikutkan puisi buatan saya dalam lomba cipta puisi tahunan yang diadakan oleh pihak sekolah. Lomba tersebut berhadiah sepeda kumbang. Tak dinyana, puisi buatan saya menang. Pak Wardiman mengambil hadiah sepedanya, kumbangnya untuk saya.  Setelah saya resmi jadi pemenang lomba puisi tanpa sengaja, ada cewek mading yang ngejar-ngejar saya untuk minta wawancara. “Kamu Rangga, kan?” tanya cewek mading tersebut sambil ngajak salaman. Tapi saya abaikan tangan halusnya yang terjulur. Berhubung lupa kobokan, tangan saya masih ada bumbu rendang. Sebab saya makan siang di RM Padang. “Bukan. Saya sebenarnya siluman tengkorak,” kata saya berpura-pura. “Oh.” Cewek itu langsung percaya dan...

25 Komik Doraemon Petualangan

Setiap remaja tumbuh dengan teman imajinasinya masing-masing. Bertualang mencari harta karun dengan Lima Sekawan -nya Enid Blyton. Merinding bersama Goosebumps karangan R. L. Stine. Atau membantu Detective Conan memecahkan misteri. Bagi remaja yang lebih vintage , memilih mengisi masa kecil dengan lari terbirit-birit bersama Petruk rekaan Tatang S. Sejak SMP, saya menyukai komik Doraemon Petualangan. Saya mengikat diri demi memburu semua serinya untuk dibaca. Mulai dari beli, tukar-pinjam sampai memeras milik teman. Dari baca seri Doraemon Petualangan, saya bisa belajar tentang penciptaan setting cerita yang menakjubkan, penokohan yang kuat, konflik yang menarik, alur cerita yang penuh kejutan, sampai pesan moral yang mendalam. Cocok dijadikan pegangan untuk menulis fiksi . Jika Ahmad Dhani pernah klaim musik Queen adalah puncak kreativitas manusia, maka saya akan menobatkan komik Doraemon Petualangan adalah puncak imajinasi orang Jepang.