Seperti hadits Nabi yang populer dijadikan pelecut semangat para pebisnis, “Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah berdagang,” saya juga pernah dagang. Ngomong-ngomong, satu pintu sisanya apa ya?
Dagang pulsa sewaktu sekolah adalah jenis usaha pertama yang saya geluti. Pelanggannya adalah teman-teman SMP. Di bulan puasa pada masa itu, provider XL (dulunya ada Bebas dan Jempol) memberikan bonus pulsa lumayan untuk setiap kali isi pulsa nominal tertentu. Nah, bonus inilah yang saya jual kembali.
Saya jadi rutin mengisi pulsa dalam jumlah besar di konter demi mendapatkan bonus sebagai stok. Saya memanfaatkan fitur bagi pulsa untuk mengirim pulsanya ke pembeli.
Tidak ada risiko dari bisnis pulsa. Tidak masalah jika ada penumpukan stok. Sebab kalau tidak habis, saya tinggal memakainya untuk kebutuhan saya sendiri, yaitu menyebarkan SMS humor ke kontak.
Namun, usaha itu harus gulung tikar sebelum berkibar sebagai bendera perusahaan dan melantai di bursa saham. Penyebabnya, ada seorang anak SMP bernama Lajjad yang beli pulsanya minta dikirim cepat, tapi bayarnya ngutang. Sudah begitu, utangnya tidak bayar sampai sekarang.
Alasannya, dia salah kirim nomor waktu itu. “Iya, jadi kemarin tuh gue salah kasih nomor HP ke lo. Lo malah ngisi ke nomor temen gue. Jadinya dia yang dapat pulsanya. Kan gue nggak pakai pulsanya nih. Masa gue yang bayar? Lo tagih sendiri aja ke temen gue. Lo tahu nomornya kan?” katanya playing victim dan gaslighting. Heran, anak SMP udah bisa guilt trip.
Saat itu, untungnya, saya punya pelanggan setia. Namanya Welas. Welas adalah kakak dari Astri, teman sekelas saya. Saya dan Welas tidak tahu wajah masing-masing, tapi kami saling percaya.
Entah apa yang membuat Welas lebih sering beli pulsa melalui saya dibandingkan beli langsung ke konter. Mungkin karena dia nggak perlu jalan ke konter dan jadi korban catcalling abang-abangan di gang. Dia juga bisa bayarnya nitip melalui Astri pas ketemu saya di sekolah.
Selama kami bermuamalah, Welas amanah. Welas berbeda dengan Lajjad yang tak bertanggung jawab. Welas selalu membayar. Trusted pokoknya. Kalau bisa kasih bintang, saya kasih bintang lima Michelin untuk akhlaknya, bintang tujuh untuk sakit kepala dan pusing, Bintang Emon untuk kritik pemerintah.
Saya bersyukur kepada cowok yang mendekati Welas dan mengajaknya sering SMS dan teleponan sampai pulsanya habis. Sehingga Welas rajin beli pulsa ke saya.
Ternyata Welas yang tidak tahu wajah saya jadi pedang bermata dua. Sisi positifnya, Welas jadi nggak mandang fisik (karena yang dibelinya pulsa elektrik), tapi itu juga bakalan jadi penyebab kesalahpahaman di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar