Di SMP, saya sebangku dengan Radin. Saya tahu Radin suka dengan Andin, teman sekelas juga. Waktu itu saya iseng pakai nomor baru mengaku sebagai Andin dan kirim SMS ke Radin menanyakan PR yang dikumpulkan besok. Niat saya ngaku sebagai Andin biar dapat jawaban dari Radin. Soalnya kalau saya ngaku sebagai diri saya sendiri, Radin pasti nggak mau balas karena sayang pulsa.
Sejak dapat SMS dari “Andin” jadi-jadian itu, Radin sering kirim SMS ke nomor saya dengan kata-kata halus dan lembut. Kalau tahu itu aslinya saya, mungkin Radin udah membatalkan puasanya karena muntah dengan sengaja.
Bahkan beberapa kali, saya menerima SMS gombal dari Radin. Contoh: “Apakah kamu punya peta? Aku baru saja tersesat di matamu.”
Muatamu.
Saya balas dengan berkamuflase menjadi Andin: “Bisa aja kamu Din.”
Sewaktu bulan puasa, Radin rajin kirim SMS pas jam sahur, mungkin niatnya sekalian bangunin sahur.
Di sekolah, untungnya Radin pemalu dan sama sekali nggak membahas obrolan di SMS dengan Andin secara langsung. Kalau sampai iya, kasihan Andin karena nggak tahu apa-apa. Lebih kasihan lagi Radin karena dibohongi teman sebangkunya sendiri.
Jujur, saat itu saya merasa sangat jahat karena telah menumbuhkan harapan di hati Radin bahwa cintanya berbalas. Padahal yang balas adalah orang iseng kayak saya.
Sampai akhirnya saya mendengar ceramah dari khatib saat khutbah Jumat.
“Rasulullah pernah ditanya: Apakah seorang mukmin bisa bersifat pengecut?’ Rasulullah menjawab: ‘ya’.
Lalu ia bertanya lagi: ‘Apakah seorang mukmin bisa bersifat pelit?’, beliau berkata: ‘ya’.
Lalu ia bertanya lagi: ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi pendusta?’, beliau berkata: tidak.”
Saya langsung merasa seperti diultimatum. Kalau saya masih hobi berdusta karena iseng, saya bukan golongan orang mukmin. Saya langsung memutuskan untuk membongkar kebohongan saya. Mungkin saat itu saya dapat hidayah, walaupun nggak langganan majalahnya.
Sewaktu Radin menelepon nomor yang saya pakai menjadi Andin palsu, saya mengangkatnya dengan penuh bertanggung jawab.
“Halo,” ucap saya. Suara cowok saya keluar. Baru puber lagi. Harusnya itu sudah cukup menjelaskan bahwa nomor ini aslinya punya cowok, bukan Andin. Radin buru-buru memutuskan panggilan. Semoga Radin mengerti.
Di kelas, sebelum libur lebaran, saya mengaku kepada Radin bahwa saya adalah orang di balik layar yang membalas semua SMS Radin yang ditujukan kepada Andin.
Radin nggak percaya. Dia denial. Bahkan dia bilang, “Kemarin gue nelpon Andin, yang ngangkat abangnya kok.”
Abangnya?
“Itu kan suara saya. Kamu nggak bisa mengenali suara saya?” Saya heran. Radin, dibohongin kok malah menikmati?
Radin nggak menjawab pertanyaan saya, tetapi dia langsung pindah tempat duduk.
Dari kisah ini, saya berjanji untuk nggak bohong lagi. Selain bukan sifat orang mukmin, bohong juga bikin orang kecewa, seperti Radin. Saya juga nggak heran kalau di masa depan Radin jadi orang yang sukses karena pernah saya zalimi, walaupun dia tetap nggak bisa bersama dengan Andin.
Komentar
Posting Komentar