Bukber (buka bersama) alumni bisa jadi traumatis. Apalagi kalau ketemu dengan teman sekolah yang nggak respect ke kita dari dulu. Udah terbebas dari lingkaran dan lingkungan toxic, masa mau coba-coba masuk lagi?
Tapi yang bikin saya mau nggak mau ikut bukber alumni adalah Radin, yang tanpa sepersetujuan saya, membayarkan iuran bukber atas nama saya.
“Udah gue bayarin. Nanti gantinya pas bukber aja,” ketik Radin di chat WA.
Saya membacanya dan menghela nafas.
Nggak cukup di situ, Radin juga menjemput saya di rumah pas hari H. Di mobilnya sudah ada teman-teman lain, Andin dan Bang Dul.
Di lokasi bukber, saya kembali bertemu Lajjad. Seperti biasa, Lajjad pamer. Kali ini yang dipamerkan adalah motor sports hasil kerjanya selama ini.
“Oh ya, kemarin tetangga saya ada yang kehilangan motor Ninja,” celetuk Radin mencairkan suasana. Tapi yang cair malah es batu karena kelamaan nggak diminum.
Selama bukber, saya berkali-kali lihat jam tangan. Kapan ini akan berakhir?
Nah, ketika bukber berakhir, justru ceritanya baru dimulai. Di parkiran, Bang Dul memuji motor Ninja Lajjad. Hal ini bikin Lajjad makin sok asyik.
“Eh, remake meme yuk. Tahu kan meme yang pamer kendaraan itu?” cetus Lajjad.
Lajjad langsung atur set. Saya ditempatkan di sebelah motornya yang menurutnya keren.
Saya pun dijepret tanpa concern.
Malamnya, Lajjad posting di Path foto saya bersama motornya, dengan caption “Setelah bekerja keras bertahun-tahun, akhirnya kebeli jam tangan ini.”
Lajjad nge-path. Dia mau pamer motor di medsos aja harus public shaming saya. Lagian saya dapat jam tangan ini bukan beli, tapi karena resign dan dikadoin teman-teman kantor lama.
Nggak butuh waktu lama, orang-orang komen dan kasih emoji ketawa. Padahal nggak lucu.
Nggak lama dari situ, Path pun tutup permanen.
Komentar
Posting Komentar