Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Menurutku, setiap orang punya keajaiban. Seperti
menang kuis malam yang dibawakan oleh Mbak Yeyen di TV. Atau menjadi pemain
timnas U-19 yang mencetak gol penentuan di menit terakhir pada final melawan
Malaysia di stadion Gelora Bung Karno. Berhasil ke luar angkasa untuk
membuktikan jika bumi itu datar. Atau nge-vlog dengan Raja Arab.
Jika kau memikirkan sesuatu yang mustahil
terjadi di seluruh dunia, pikirkan juga kalau salah satunya akan terjadi pada
kita.
Ternyata keajaibanku berbeda. Dari sekian kota, dari sekian rumah, dari
sekian blok, aku bertetangga dengan Margareta. Singkat kata, Marga adalah simpul
keajaiban dunia. Marga satu level di bawah komodo yang sama-sama ajaib tingkat dunia.
Aku kini mengerti rasanya menjadi Peter
Parker. Sejak kecil hingga remaja, aku menjadi pemuja rahasia dari tetanggaku
sendiri. Tapi aku tidak sampai digigit laba-laba modifikasi genetik beracun,
lalu menjadi superhero dan ciuman terbalik dengan pujaan hati di tengah hujan. Aku
hanya kebagian jatah culunnya doang.
Karena imej culun itulah aku tidak akrab
dengan Marga. Marga hanya berteman dengan mereka yang memiliki followers ratusan
ribu dengan feed Instagram aesthetic. Sementara aku hanya jadi penonton dari
instastories Marga. Saking banyaknya momen yang dia share, bentuk
instastores-nya kayak bekas jahitan operasi usus buntu.
Di sekolah, aku berteman dengan dua personil
marawis sekolah, Rada dan Beben. Kami bertiga akrab karena sama-sama dikucilkan
dari pergaulan. Bedanya, Rada rada melek teknologi dan tahu cara menghasilkan receh
dari Google AdSense. Sementara Beben tahu cara cepat menghabiskan uang dengan membeli
gems Clash of Clans di Google Play.
Sampai suatu malam, jendela kamarku digedor
Marga.
“Qubil, pinjem mobil lo dong,” pinta Marga
sekonyong-konyong.
“Buat?” tanyaku setengah mengantuk. Wajar
kalau manusia sepertiku ngantuk karena saat itu sudah tengah malam.
“Udah nurut aja! Pokoknya kita jadikan malam
ini malam yang berkesan bagi lo. Sebelum gue kabur keesokan harinya dan membuat
lo kehilangan. Sehingga lo mengajak teman-teman lo kelayapan ke luar kota untuk
mencari-cari gue,” urai Marga panjang-lebar.
“Hah?” Aku bingung.
“Buruan!” ucap Marga sembari mendorongku
keluar jendela.
Dengan mobil ibuku, aku dan Marga keliling
kota malam hari. Di Indomaret yang buka 24 jam, kami membeli barang-barang aneh,
seperti telor omega, lem UHU cair, paku payung, lakban bening merek Daimaru, dll. Dan lupa lagi. Saking banyaknya belanjaan.
Ternyata
barang-barang itu digunakan untuk membalas dendam kepada mantan pacar dan
teman-teman Marga yang berkhianat. Misalnya, Marga beli Gillete Vector Razor
tapi digunakan untuk mencukur sebelah alis mantan pacarnya yang saat itu
tertidur pulas. Dengan catatan, dicukur tanpa foam. Kejam.
Lebih kejam lagi,
aku dimasukkan Marga ke dalam driverzone. Nyupirin doang, diajak pacaran kagak.
Keesokan harinya, Marga benar-benar
menghilang. Marga bolos sekolah dan hilang dari rumah. Tapi kedua orangtuanya
tidak berniat mencarinya. Alasannya, “Biarin aja Marga minggat dari rumah. Udah
gede ini. Kalau nggak ada dia, lumayan menghemat stok beras bulanan.”
Sedihnya jadi Marga. Sudah kehilangan pacar
dan teman, tidak dipedulikan oleh orangtuanya pula. Asli, aku marah banget.
Oleh sebab itu, aku mengajak teman-temanku untuk mencari Marga. Marga pasti
kabur ke Jakarta, mengadu nasib di ibukota, ingin hidup coba-coba. Sebab lagu
favorit Marga adalah Bimbi ciptaan Titiek Puspa.
Dengan mobil ibuku, aku bersama Rada dan Beben
menyusul Marga. Dengan kekuatan teknologi yang dikuasai Rada, kami berhasil
menemukan posisi Marga berada. Di tengah perjalanan, aku sempat mengantuk
ketika menyetir. Maklum malam itu jalan tol sepi. Tiba-tiba saja ada sekumpulan
sapi lewat di depan mataku. Aku langsung syok sampai angkat tangan dari setir. Di
kursi penumpang sebelahku, Beben refleks memutar setir sambil teriak, “AWAS ADA
HOG RIDER!”
Mobil pun berputar-putar di atas aspal. Kami tidak
jadi mati muda karena nabrak sapi. Keselamatan ini disponsori oleh Clash of
Clans yang bikin Beben berhalusinasi melihat sapi sebagai babi hutan di dunia game.
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya
kami tiba di lokasi tempat Marga seharusnya berada. Tapi aku tidak menemukannya
setelah mencari dimana-mana. Ketika istirahat di Sevel, aku iseng buka
Instagram dan mendapati Marga update instastories. Marga sudah tiduran di kamar rumahnya, matanya
beler dengan caption “i’M hOmE.”
WEDHUS!
Disamperin jauh-jauh, malah pulang duluan!
Rada dan Beben pun mencak-mencak mengetahui
fakta unik tersebut. Setelah itu, kami pulang ke kota kami. Di tengah
perjalanan, Beben kebelet buang air. Lalu kami berhenti di rest area. Di SPBU rest area, aku sekalian numpang mandi tapi lupa bawa handuk. Untungnya, di mobil ada sisa barang
yang dibeli Marga waktu itu: paper towel.
hmmmm ini ceritaya seperti dipaksa habis, kirain pas nyanyi lagu pokemon mau diparodiin nyanyi stasiun balapan. cukup lucu!
BalasHapusIni komen buat postingan ya mana ya bg?
Hapushaha akhirnya paper towelnya berguna juga !
BalasHapusterimakasih marga
Marganya apa, bg?
HapusHAHAHAHA ini ceritanya absurd2 menggemaskan. Awalnya kirain mau sedih ala2 drama, di tengah kirain thriller mau bunuh pacar, akhirnya malah dikerjain balik.
BalasHapusUnch!
Ngahahaha.
HapusUnch!
INI SEBENERNYA CERITA APA?!! *lempar paper towel yang ditaruh di meja ayam penyet
BalasHapusHahahahanjir. Bisa aja si Adi ngingetin kalau paper towel seringnya ada di ayam penyet Pak Slamet.
Hapustolong, mas, culunnya dikondisikan.
BalasHapusdari awal kirain ini cerita ngapa dah, pas sampe akhir masih gak ngerti juga. ini parodi pelem? wqwqwq
iya parodi film. mesti nonton film aslinya sih biar ada gambaran.
HapusHaaaaaa...... sapi lewat di jalan tol malem-malem?? Itu sapi beneran atau siluman? O_O
BalasHapusitu lagu bimbi masih aja ada yang dengerin apaaaaaaa.... ngebacanya bikin muka memelas pucat pasi, menanti di jalan sepi...
BalasHapus