Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Menggarong di Tenggarong

Setelah saya cocol manja pundaknya sekitar tujuhbelas kali, akhirnya Icha terbangun.

“Eh sorry, sorry. Sampai mana ini?” tanya Icha gelagapan. Ternyata Icha ketiduran karena merasakan sejuknya angin sore itu.

“Sampai jumpa Minggu depan,” jawab saya kalem. “Ya mana saya tahu?! Pikirkan sendiri.”

Saya masih terus mengegas. Baik mengegas dalam berkendara, maupun berbicara. Max dan Kak Ira semakin jauh di depan karena sepeda motor yang mereka naiki bermerek Yamaha. Sementara Bang Hendra sudah tidak kelihatan batang knalpotnya.

“Eh salah! Salah jalan! Belok, belok,” instruksi Icha. Saya manut, menyalakan sein kiri, lalu belok kanan.

“Eh salah! Benar yang tadi. Maaf, maaf,” ralat Icha. Saya kembali ke jalan yang benar. Tak terasa meneteslah keringat sebiji ketumbar di dahi saya.




Saya langsung ngajak ngobrol Icha supaya dia nggak ketiduran lagi. Sampai akhirnya, saya menyaksikan jalanan di depan. Sebuah tanjakan mengerikan yang nggak saya temui di Cilegon. Saya langsung melipir dan kembali menyerahkan stang motor ke Icha.

“Kamu yang bawa aja ya. Saya fobia tanjakan. Apalagi nanjaknya menukik begitu,” aku saya.

Icha ketawa dan langsung mengegas kendaraannya dengan luwes.

“Cilegon adalah kota kecil dengan jalanan yang lurus-lurus aja. Oleh sebab itu, banyak pendosa yang ingin bertobat, berbondong-bondong datang ke Cilegon: untuk kembali ke jalan yang lurus. Saya nggak terbiasa dengan tanjakan atau tikungan tajam kayak di sini. Itulah alasan kenapa harus kamu yang bawa motornya. Ingat, jangan tidur selagi bawa motor. Di dunia paralel dalam kepala saya, setiap naik tanjakan, saya selalu terbayang di depan ada truk mogok terus pelan-pelan turun melindas saya yang ada di belakang. It’s so creepy, you know?” Alibi saya dengan diselingi tawa Icha yang berderai-derai.

Saya ngomel-ngomel selama perjalanan. Sementara Icha menertawai ketakutan saya.

“Kenapa nggak ada briefing sebelumnya kalau kita bakal lewat jalanan seekstrim ini, hah?” Saya menyalahkan Kak Ira yang mencetuskan ide ini tanpa sepersetujuan saya.

Setelah mendaki tanjakan, meniti turunan, akhirnya kami sampai di jalan yang normal, datar, rata dan lurus. Ditandai dengan plang bertuliskan "Selamat Datang di Kota Wisata Tenggarong".

“Ini udah beda kota ya?” tanya saya planga-plongo.

“Iya. Ini Tenggarong, Brother! Kota kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, salah satu kabupaten terkaya di seluruh Indonesia,” terang Icha yang mulutnya sedang dibajak Wikipedia.

Kemudian rasa kesal saya dengan Kak Ira berganti dengan rasa kagum dan takjub. Saya menyaksikan pemandangan yang tidak akan saya temui di Cilegon. “Di Cilegon emang ada apa?”

“Ini namanya Pulau Kumala,” ucap Kak Ira sebagai tour guide dadakan. Setelah memarkir motor dan bayar tiket masuk, kami menyeberangi jembatan menuju Pulau Kumala. Di bawahnya ada sungai Mahakam yang warnanya cokelat kayak sungai di film Charlie and the Chocolate Factory.

Untuk mengelilingi Pulau Kumala, kami menyewa sepeda. Saya dan Icha naik sepeda doubel. Sementara Kak Ira ngebet pengen nyewa sepeda triple biar bisa bareng Max dan Bang Hendra. Mungkin mereka bertiga mau cosplay jadi Warkop DKI.

Berhubung sepeda trio pelawaknya nggak ada, terpaksa Kak Ira dan Max naik sepeda dobel. Sementara Bang Hendra naik sepeda gunung seorang diri. Untung bukan sepeda badut sirkus yang rodanya satu. Kalau naik sepeda itu, Bang Hendra harus sambil lempar-lemparin botol tanpa jatuh. Susah.

Setelah puas gowes sampai yang ngegowes haus dan yang digowes aus, sampailah kami di tepi pulau untuk menunggu sunset. Lalu kami mengabadikan momen dengan latar belakang Jembatan Kutai Kartanegara yang pernah runtuh itu. Kata Max, ada korban yang masih belum ditemukan sampai sekarang. “Ih, serem sih.”

Kami juga sempat berfoto bersama patung Lembuswana yang bertengger di Pulau Kumala. Sangat susah untuk mengambil angle agar kami berlima dan patung Lembuswana bisa muat di satu frame. Sebab pipi Kak Ira dan Icha memakan banyak space.




Bersama antek-antek Young Lex



Ketika pulang, Icha menceritakan ke Kak Ira tentang kekesalan saya terhadap ide kakak sepupunya itu yang mengajak menggarong di Tenggarong. Saya sudah menyiapkan kata maaf dan kalimat penyesalan. Tapi Kak Ira hanya menjawabnya dengan no mention di caption Instagram:

Difficult roads often lead to beautiful destinations.”

Oke. Sekarang saya paham makna di balik kutipan itu. Akan selalu saya ingat ketika melewati jalan yang sulit demi mencapai tujuan yang indah.


Bagi saya, hari itu menjadi hari terbaik di 2016. Terima kasih, Bubuhan Samarinda.

Komentar

  1. 😂😂😂😂😂😂😂😂 lemah! Sama tanjakan begitu aja takut. Lemah! Mana ada di briefing dulu. Lemahh. Haris lemah!

    BalasHapus
  2. Setelah Kalimantan Timur, udah ada rencana ke Bengkalis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo ke bengkalis, aku ikut.

      Hapus
    2. Kuy. Biar bisa pantai, dulu...

      Hapus
    3. Padahal Ulan deket Bengkalis ya.

      Hapus
    4. Tapi ga pernah diajak mampir ke Bengkalis bang.

      Iya, padahal pengen selfie di pantai:(

      Hapus
  3. Kok namanya bisa pulau Kumala, itu gimana awalnya kok bisa dinamakan pulau Kumala?

    BalasHapus
  4. Jaahhhh cuma tanjakan doang bang? Yailah gitu doang takut. :p

    Entah kenapa, di foto yg bareng antek-antek yangleks, pose bang haris kok kayak miss indonesia lagi foto bareng sih. Miring-miring gitu. Kan jadi salfok:(

    LANJUTIN LAGE AHELAH BANG. Kurang panjang ceritanya baaangg

    BalasHapus
  5. Ditunggu part pas di samarinda hari ke dua. Hotel, dulu...

    BalasHapus
  6. Ntap! Gue juga pengen ke Kaltim nih. Semoga bisa kesampean. Hehe

    BalasHapus
  7. “Di Cilegon emang ada apa?” Ini kenapa tiba-tiba ada dialog, ya? Hm.

    Udah pernah maen ke Puncak, Bandung, atau beberapa curug daerah Bogor gitu belum, sih? Tanjakan gitu mah gak usah jauh-jauh ke Samarinda.

    BalasHapus
  8. Wow serasi banget deh bang sama icha. Yuhuuu.

    Sayang di postingan ini gak ada Nanda ah...

    BalasHapus
  9. Pas buka blog bang Haris kaget. Kirain di direct ke google image, ternyata emangnya templatenya kayak gitu.. :/

    BalasHapus
  10. Sesuai judulnya "menggarong di tenggarong" tulisan ini sangat menggarong orang2 yang lagi digarong sama kucing garong tapi garongan nya gk betul2 digarong.

    Ini foto legendaris di instagram itu ya? Sangat romantis.
    Apakah setakut ini bg Haris dengan jlanan yang terjal? Lebih takut mana, jlanan yg terjal apa hubungan yg terjal? Hehe, Cnd.
    Overall. Bagus.

    BalasHapus
  11. Bdw, templatenya berubah ya, baru sadar saya.

    BalasHapus
  12. Aih jadi pengen kesana... Banyak banget tempat asik yang belum gue kunjungin.. Sekarang nambah satu haha :D
    Btw, salam kenal ya, mampir2 bila berkenan, hehe

    Salam, Jevon

    BalasHapus

Posting Komentar