Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Kebetulan saya lahir di Indonesia, di lingkungan pertemanan yang tidak percaya dukun, tapi masih getol baca ramalan zodiak dan golongan darah. Seandainya saja saya lahir di dunia sihir di awal abad 20, apakah ada jaminan bahwa saya akan menjadi Magizoologist dan berkeliling dunia untuk mempelajari hewan fantastis? Tidak. Bisa saja saya jadi peramal pembohong, dikeluarkan dari sekolah sihir Durmstrang dan terobsesi mengumpulkan Relikui Kematian untuk menguasai dunia.
Saya tidak bisa memilih dilahirkan dari pasangan Lily dan James Potter, lalu menghentikan aksi jahat Pangeran Kegelapan dan mampu bertahan hidup hanya dengan menyisakan luka berbentuk sambaran petir di dahi.
Setelah beberapa tahun kita lahir, pengalaman hidup menentukan karakter, preferensi, asrama yang cocok apabila masuk Hogwarts dan siapa penyihir yang paling mirip dengan kita. Setelah itu, kita membagikan di media sosial, hasil yang kita dapat dari website Pottermore. Tidak peduli jika itu tidak ada hubungannya dengan sihir, melainkan hanya rekayasa algoritma.
Sejak masih anak-anak, saya didoktrin oleh guru ngaji bahwa ramalan itu termasuk syirik. Saya mengasihani teman saya yang berlangganan majalah hanya untuk membaca rubrik zodiak.
Ternyata,
Teman saya yang hobi nonton Planet Remaja juga punya anggapan yang sama terhadap segmen ramalan zodiak. Mereka mengasihani saya yang tidak bisa melihat ramalan zodiak dari sisi entertainment.
Maka,
Bayangkan jika kita menjalani hidup dengan menjadikan ramalan dari peramal anonim sebagai pedoman? Atau menghindari tidur di ubin karena disebutkan di ramalan kesehatan zodiak, hal itu penyebab masuk angin?
Albus Dumbledore mengatakan, "Jangan biarkan dirimu berkutat dalam angan-angan sehingga lupa untuk hidup."
Salah satu karakteristik warganet memang saling mengklaim zodiaknya yang paling baik. Mereka juga tidak butuh fakta jika ada Gemini yang setia, namanya saja "muka dua".
Manusia memang berhak mengungkapkan rahasianya, tapi jangan sesekali mencoba jadi seperti Voldemort ketika bangkit dari buku harian di Kamar Rahasia. Tidak semua bisa bertahan hidup setelah dengan entengnya membocorkan kelemahan diri sendiri di depan musuh. Apalagi musuhnya adalah Harry Potter yang mewarisi sifat Gryffindor sejati: gagah berani, bersifat ksatria dan tidak mengenal takut, kendati kadang ceroboh dan sok tahu.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing penyihir menganggap dirinya paling sejati, seperti Salazar Slytherin yang berujar, "Hogwarts hanya menerima penyihir berdarah murni".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Hogwarts, sekolah mana lagi yang bisa menerima Severus Snape, Hermione Granger, Lily Evans, Rebeus Hagrid, bahkan Tom Marvolo Riddle, dan mendidik semua penyihir tersebut walaupun bukan dari golongan darah murni?
Tidak ada yang meragukan kelihaian J.K. Rowling. Jika beliau mau, beliau bisa saja menuliskan semua karakter penyihir bergolongan darah murni.
Tapi nanti tidak ada gregetnya, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat yang menjadikan orang naif seperti Cornelius Fudge sebagai Menteri Sihir, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa Pelahap Maut berani muncul terang-terangan di Kementerian Sihir untuk merebut bola kristal ramalan dari tangan Laskar Dumbledore.
Sebab, jangan heran ketika kenyamanan menduduki kursi kekuasaan vs. ancaman kebangkitan Pangeran Kegelapan masih berkuasa, maka jalan seorang pejabat Kementerian Sihir akan tersesat entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing penyihir menuntut agar bola kristal ramalan dijadikan koleksi pribadi. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Departemen Misteri di Kementerian Sihir.
Karena itulah yang digunakan Hogwarts dalam penentuan asrama bukan keputusan Topi Seleksi saja, melainkan juga mempertimbangkan pilihan hati setiap murid baru.
Dalam perspektif penyihir, setiap anak berusia 11 tahun dengan bakat sihir berhak mendapatkan tongkat sihir dan sapu terbang, tapi mereka tak berhak memaksakan masuk tim Quidditch jika tidak memenuhi kualifikasi. Hanya karena disogok pakai sapu terbang mahal model terbaru, kapten tim Quidditch tidak berhak menyelundupkan seorang anak tanpa kompetensi ke dalam tim.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa serunya kisah hidup Harry Potter yang sekolahnya nyaris tercerai-berai bukan karena memperebutkan pedang warisan Godric Gryffindor, tapi karena salah tafsir ramalan Sybill Trelawney.
Ketika Newt Scamander sudah pergi ke New York, kita masih sibuk meributkan soal Hermione Granger yang aslinya berkulit hitam.
Kita tidak harus suka buku yang sama, tapi marilah kita sama-sama baca bukunya sebelum nonton adaptasi filmnya.
Sumber gambar: https://www.teachwire.net/news/harry-potter-20th-anniversary-6-of-the-best-teaching-resources
Pernah diterbitkan di Mojok.
Bagus.
BalasHapusJaka.
HapusToss Harris! Penting banget bagian menceritakan tentang Harry Potter pada anak cucu kita nanti. Buku terbaik sepanjang masa;)
BalasHapusBoleh juga. Tapi kapan Haris bikin sequel Harris Potter and The Goblet of Fire?
BalasHapusahahaha hayalanku tetiba menggebu setelah baca tulisannya mas nih...
BalasHapusHah? Hermione aslinya kulit item? Tapi di gambar dalam buku HP Sorcere's Stone, kulitnya putih ._.
BalasHapus