Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.
Nama
saya Genta. Namun saya tidak punya empat kawan lama yang sempat memutuskan
berpisah sementara, lalu mendaki gunung bersama di pertengahan bulan Agustus.
Itu bukan cerita saya.
Cerita
saya bermula di hari pertama kerja di kantor baru. Walaupun namanya kantor
baru, penampakannya seperti rumah tua yang sudah lama tak dihuni. Yang sudah
pasti tidak pernah diisi dengan lantunan ayat suci.
Waktu
itu saya sedang rehat sejenak dari kerjaan yang saking mepet deadline sampai mengharuskan
lembur sampai tengah malam. Ketika saya cuci muka sembari mengagumi kebagusan
rupa sendiri di cermin, lampu kamar mandi mendadak mati. Saya tercekat. Ada
yang tidak suka dengan wajah saya.
Ini
pasti ulah rekan kerja saya, Bebek. Ya, benar, namanya memang Bebek. Nama
lengkapnya Bebek Goreng Pak Slamet.
Selesai
saya membilas wajah, lampu nyala kembali. Saya buru-buru keluar kamar mandi.
"Udah
kerja kantoran, bercandanya masih kayak mahasiswa semester satu baru ngekos!" tukas saya kepada Bebek
yang sedang memotret setampah sesajen di studio foto.
"Apaan
sih?" Bebek berlagak pilon.
"Tadi
lo yang matiin lampu di kamar mandi kan?" Tuduh saya.
"Nggak.
Enak aja! Dari tadi gue motret kok!" alibi Bebek.
"Kalau
begitu, jangan-jangan..." Saya mendadak ngeri.
"Heh,
heh. Jangan mikir sembarangan." Kemudian Bebek mendekati saklar.
Krek
krek krek. Begitulah bunyi mistis yang berasal dari saklar.
DENG! DENG! DENG!
DENG! DENG! DENG!
"Tuh
kan! Itu pasti suara..." Wajah saya langsung pias.
Bebek
mengotak-atik saklar. "Oh, pantesan lampunya mati-idup mati-idup.
Saklarnya dikerubungi semut. Jadi korslet deh."
Saya
langsung mengelus dada.
Selesai
urusan lampu yang mendadak mati, saya mendengar suara perempuan menangis. "Huhuhuhuhu."
JENG! JENG! JENG!
JENG! JENG! JENG!
"Lo
denger, nggak?" tanya saya kepada Bebek.
"Denger
sih. Suaranya berasal dari ruangan Marwan." Bebek menganalisa.
"TAPI
MARWAN KAN UDAH PULANG TENGGO SORE TADI." Saya kelepasan ngomong pakai
otot.
"Santai.
Nggak usah pakai huruf kapital semua. Situ BAMBANG WIDODO PEMBIMBING UTAMA?"
"Bukan.
Iman Supriadi BPK."
"Pantas
saja mulut Anda kotor."
Saya
buru-buru mengelap bibir. Ternyata masih ada bekas makan mi ayam tadi sore. Minyaknya
nyangkut di kumis.
Usai
berdebat, kami menyusuri koridor menuju ruangan Marwan. Pelan-pelan, kami
membuka pintu. Tampaklah Marwan sedang menangis tanpa suara menghadap layar laptopnya.
Di sekitarnya berceceran gumpalan tisu.
"Loh?
Pak Marwan? Bukannya tadi pamit pulang duluan?" Tembak saya.
"Eh,
anu. Gue tadi emang niat mau pulang, terus kepikiran sama lanjutan drama Korea
yang gue tonton. Daripada penasaran, akhirnya gue mutusin marathon deh."
Marwan cengengesan. "Tinggal tiga episode lagi."
"Terus
suara cewek nangis tadi?" kejar saya.
"Itu
artis Korea yang nangis. Adegan sedih tuh. Terus tadi colokan headphone nggak sengaja copot
dari laptop, jadi suaranya bocor deh," aku Marwan malu-malu.
Tiba-tiba
terdengar suara anak kecil tertawa. "Ahahahaha."
JENG! JENG! JENG!
JENG! JENG! JENG!
"Kalian
denger kan?" Saya melotot.
"Denger,"
sahut Bebek.
"Tenang,
tenang. Itu ringtone hengpon jadul gue." Lalu Marwan cek inbox. "SMS
dari istri. Nanyain kapan pulang. Sekalian nitip dibeliin roti bakar, katanya."
Saya
menghela nafas.
Sedetik
kemudian, malah terdengar suara perempuan tertawa ngakak di lantai bawah.
DENG! DENG! DENG!
DENG! DENG! DENG!
Saya
buru-buru turun tangga, diikuti Bebek dan Marwan. Kali ini pasti benar suaranya
berasal dari penghuni tak kasat mata di rumah ini.
Tampaklah
di ruang TV ada dua rekan kerja saya, Mas Rudi dan Yoga sedang nonton Dangdut
Academy yang memang tayang sampai dini hari.
"Kalian
tadi dengar suara cewek ketawa?" tanya saya parno.
"Dengerlah,"
ucap Mas Rudi.
"Hah?"
Saya heran kenapa mereka masih santai-santai saja.
"Itu
Soimah lagi ngejuriin. Ya elah, nggak usah pucat begitu. Tuh lihat dia masih komentar
padahal udah sejam." Ucap Yoga sembari menunjuk layar TV. "Tuh ketawa
lagi, dia."
Saya
menundukkan kepala, frustasi.
"Itu
cuma ketakutan lo aja," simpul Bebek.
Tapi
saya tetap yakin bangunan angker ini dihuni keluarga tak kasat mata, skuad dedemit
atau jin buang anak. Kemudian mata saya beralih ke ruang depan. Di sana ada Andrea,
staf finance yang sedang membuat laporan keuangan.
Awalnya,
Andrea bertingkah biasa. Tiba-tiba saja Andrea kejang-kejang. Matanya melotot.
Bibirnya melengkung ke bawah secara ekstrim.
TENG TENG!
TENG TENG!
Saya
langsung teriak, "Andrea kesurupan! Apa gue bilang! Kantor ini dikutuk karena
nggak ada syukuran!"
"Tapi
syukuran kan bid'ah," elak Marwan.
"Masih
aja ngomong gitu. Tolongin tuh Andrea cepet!" Saya makin heboh.
Kompak,
kami mengerubungi Andrea dan berusaha menyadarkannya.
Namun,
Andrea malah merasa risih. "Kalian kenapa sih?"
"Loh?
Andrea udah sadar? Bukannya tadi kesurupan?" Tanya saya bingung.
"Kesurupan
apaan! Gue tuh lagi mainan musical.ly. Tadi praktekin Marsha jantungan."
Andrea ngambek dikira kerasukan setan, padahal sedang ikut tren kekinian.
Seluruh
rekan kerja menyalahkan saya. "Lo sih panikan."
Setelah kejadian itu, saya jadi lebih santai dalam menghadapi
segala keanehan yang terjadi di kantor. Segala kejadian misterius pasti bisa
dijelaskan dengan akal sehat.
Sampai
akhirnya, ketika hari gajian, Marwan memberi saya amplop. "Ini gajian
bulan ini. Kerja lo bagus, Gen."
Saya
senang dan bangga bisa bertahan kerja di kantor angker sampai tanggal gajian.
Ketika
pulang kerja, saya berpapasan dengan penjual mi ayam langganan.
"Kalau
boleh tau, Masnya ada keperluan apa ya hampir tiap hari keluar-masuk rumah tua
itu?" tanyanya.
"Loh?
Saya kerja, Pak. Itu kantor saya." Saya menjawab gurauannya yang cukup
lucu.
"Kerja
apaan, Mas? Setahu saya, rumah itu kosong sejak lama. Lagipula, selama ini saya
cuma lihat Mas aja."
"Bapak
memang nggak lihat teman-teman kerja saya?"
"Ndak
tuh."
"Nggak
mungkin ah. Saya kerja udah sebulan. Ini baru gajian." Saya menunjukkan
amplop pemberian Marwan.
"Coba
dicek, Mas. Paling isinya cuma dedaunan kayak di film-film Suzana."
"Ah,
Bapak jangan nakut-nakutin." Saya mengibaskan tangan di depan wajahnya.
Perlahan,
saya membuka amplop. Sembari mengintip isi amplop, jantung saya berdegup kencang seperti genderang mau perang. Ternyata isinya memang bukan uang, tapi juga bukan daun,
melainkan surat.
"Dear
Genta,
Terima
kasih sudah bekerja bersama kami selama sebulan terakhir. Kami memang tidak
bisa menggajimu dengan uang. Namun, kebersamaan kita bisa kamu jadikan cerita
untuk dikonsumsi khalayak.
Tulislah
pengalamanmu kerja bersama kami di dinding kakus. Niscaya tulisanmu akan dibaca
jutaan kali oleh pembaca tak kasat mata, lalu dibukukan dan menjadi best seller. Selanjutnya diangkat ke layar lebar. Yah,
walaupun nanti filmnya bikin penonton kecewa karena kebanyakan jump scare dan
endingnya kentang, setidaknya laku keras. Dua minggu 500 ribu penonton.
Penonton cuma bisa bicara, tapi kamu bisa belanja. Kan lumayan, daripada lu
manjat. Fyi aja sih, manjat sosial butuh 'tebal muka'. Sementara muka kami kan aslinya rata.
Salam
mistis,
Marwan & Keluarga."
“Ternyata benar, selama ini saya kerja dengan keluarga hantu,” simpul saya.
“Tuh kan Mas! Kan saya sudah bilang!” seru penjual mi ayam.
Bagus.
BalasHapusBagus (2)
BalasHapusBagus (3)
BalasHapusGak boleh takut harus pakai logika, semua kejadian pasti ada benang merahnya.
BalasHapusLagi masa sih si genta baru sadar? Emang ga pernah istirahat makan di luar apa? Hangout nonton bioskop sama temennya?
((Cerita cerita gue, ngapa lu yang protes sep))
Oke oke, btw itu yang diatas ngapa kompakan dah nulis bagus wkwkwk
Bagus (4)
Bagus (5)
BalasHapusKunjungi balik ya gan
www.ilmu.com
Balik lagi aja Gen, suruh mereka perkenalan formal sama lu. Ini gak bisa dibiarkan. Harus dikerjain balik. Ajak mereka ke tukang patung. Biar dipahat pake sesajen.
BalasHapusPadahal seharusnya bisa lolos ya kak. Bikin cengar-cengir gini. HAHAHA
BalasHapus