Langsung ke konten utama

Anak yang Dihasilkan Saya Bersama Tangan Saya

Kalau buku saya diibaratkan anak, beginilah wujud mereka. Si sulung yang polos dan apa-adanya. Lucu sekaligus bikin kasihan, tapi pantang menyerah.

Ekspedisi Selera dan Melawan Bosan Selama Naik Kereta Api

Kadang saya kangen dengan kota-kota yang pernah saya kunjungi. Salah satu yang bikin kangen tentu saja makanannya.  Mulai dari Cirebon, Solo, Jogja, Malang dan Surabaya. Dari petualangan itu, saya menemukan pencerahan kuliner. Sebuah pengalaman yang melibatkan rasa.

Dimulai dari Cirebon. Tak lengkap jika tak mencicipi nasi jamblang. Dengan ditimpali sambel kerang, rasanya mantap betul! Tapi saya tak banyak makan kala itu meski rasanya pengen nambah lagi, nambah lagi. Sebab setelah itu dilanjut dengan menggerogoti empal gentong dan sate kambing H. Apud. Dari ekspedisi selera ini, Cirebon pastilah akan memanggil jiwa kelaparan saya di kemudian hari.

Ketika main ke Solo, saya sempat mencicipi makanan yang namanya selat. Hebat memang orang Solo. Selat aja dimakan. Kalau di kota saya, Cilegon, selat itu diarungi pakai kapal feri dari pelabuhan Merak ke pelabuhan Bakauheni. Yak, Selat Sunda!

Pertama diajak kawan ke warung makan di Solo, saya cukup kaget tatkala melihat menu. Harga makanan di sana rata-rata under 10K. Gokil. Saya langsung tunjuk makanan urutan kedua yang paling mahal. Yakni selat daging cacah. Pakai nasi putih.

Jadi, selat daging cacah itu daging sapi yang direbus dalam kuah encer rasa manis, ditemani telor rebus, kentang, buncis, selada, mentimun dan tentu saja, wortel. Menurut ahli, makanan khas Solo ini sempat kemasukan budaya asing. Walaupun masakan Jawa tetap memegang erat budaya Eropa.

Salah saya makan selat pakai nasi. Kenyang! Padahal tanpa nasi pun saya akan tetap kenyang karena ada kentang dan wortel. Pertama menyeruput kuah selat, lidah saya mendapat sensasi baru. Ada efek kejut ketika bertemu dengan rasa kuahnya yang manis nyerempet ke kecut. Apabila main ke Solo lagi, wajib makan selat. Sama seperti kalau dari Jawa mau ke Sumatera, wajib lewat selat. Yak, Selat Sunda!

Sewaktu kelayapan di Jogja, saya keturutan makan gudeg asli. Setelah sebelumnya saya hanya pernah merasakan gudeg kalengan oleh-oleh atasan kantor. Ternyata gudeg asli dan gudeg kalengan sama-sama manis di lidah.

Di Malang, saya gagal makan rawon, tapi sempat jajan pentol yang dimakan ketika kongkow bareng monyet-monyet di Coban Rondo. Pulangnya, saya ngunyah sempol sembari nunggu jadwal kereta di depan stasiun Malang. Sejak itu, sempol dan pentol jadi jajanan yang ngangenin parah.

Akhirnya, saya kesampaian makan rawon daging di Surabaya. Enak. Kuah hitamnya asin-asin ngangenin. Dagingnya lezat. Saya yang nggak doyan-doyan amat dengan toge pun nggak mempermasalahkan eksistensinya yang berenang di kuahnya. Sebab ketutupan dengan citarasa yang adiluhung.

Saya pikir rawon adalah makan terenak di Jawa Timur. Tapi pendapat saya terpatahkan setelah saya menyeberangi Selat Madura melalui Jembatan Suramadu, lalu balik lagi ke Surabaya dan singgah di Kaza City Mall. Naik ke lantai 3, ada food court. Nah, di situ ada stand Bebek Sinjay.

Saya bukanlah penggemar bebek goreng. Makan di Bebek Goreng Pak Slamet pun saya biasa pesan ayam goreng. Ketika memutuskan untuk mencicipi Bebek Sinjay, saya tidak berharap akan diganjar oleh rasa yang menggoyang lidah, menggetarkan gairah atau menggelorakan jiwa.

Tapi sejak suapan pertama, saya mendelik keenakan persis biduan ketika mendengar intro lagu dangdut favorit, lalu siap mengoyang panggung. Biasanya bebek itu nggak begini rasanya. Tapi kenapa Bebek Sinjay berbeda, hah?

Secara tampilan, tidak ada bedanya Bebek Sinjay dengan bebek-bebek yang pernah saya makan. Nasi, ditimpa bebek goreng, dikelilingi irisan mentimun, sambel dan laskar kemangi. Bedanya, di atas kulit bebeknya bertaburan koya kelapa. Apakah koya ini yang menjadi pembeda?

Ketika koya bercampur dengan butiran nasi, rasanya memang tak terkendali. Seandainya ada di manga Shokugeki no Souma, saya sudah kerubungi sekawanan peri mungil yang serentak menggelitiki sekujur badan. Enak banget!

Daging bebeknya jelas nikmat. Sambelnya pun nggak main-main. Sambel pencit atawa sambal mangga muda ini jadi pendamping yang serasi bagi si bebek. Sama seperti Taro Misaki yang memang pasangan emasnya Tsubasa Ozora. Cocok!

Mencocol daging bebek ke sambel pencit, lalu menyuapkannya bersama nasi hangat bercampur koya ke dalam mulut. Saat itu juga segala derita yang ada di dunia lenyap tak bersisa. Seandainya saya ada di anime Yakitate!! Japan, mungkin saya sudah mati suri karena keenakan. Ketika foodgasme, roh saya pastilah sudah mencelat keluar dari hidung, lalu melesat menuju kahyangan.

Makan nasi bebek tidak pernah selahap itu. Jelas, ini bebek terenak yang pernah saya makan. Hingga akhirnya nikmat Tuhan yang tak mampu saya dustakan itu berakhir dengan ditutup oleh segelas es jeruk dan segelas jumbo es kelapa muda. Pergulatan itu usai dengan saya yang lemas di ending.

Namun, sampai kini saya tidak tahu kenapa dinamakan Bebek Sinjay. Mungkin karena makanan khas Madura. Seandainya makanan khas Grand Line di dunia One Piece, pastilah namanya Bebek Sanji.

Petualangan rasa di atas tidak akan terjadi jika tidak ada kereta api. Kereta api telah berjasa menjembatani saya menemukan makanan-makanan tak terlupakan tersebut. Saya menjadi sahabat KAI ketika mengunjungi kota-kota di pulau Jawa.

Saya suka naik kereta karena bisa merasakan menjadi Harry Potter ketika kembali sekolah ke Hogwarts. Bedanya, di kereta api Indonesia tidak menjual cokelat kodok, kacang segala rasa Bertie Bott’s atau jus labu. Paling banter mie instan dalam bentuk cup. Tapi mie instan tersebut sangat membantu di kala sedang lapar-laparnya.

Selama di kereta, saya biasa menekuni kegiatan yang saya sukai untuk membunuh rasa bosan, salah satunya membaca. Buku dan komik adalah barang yang wajib dibawa, selain peralatan gosok gigi. Pernah sekali saya kehabisan bacaan sementara stasiun tujuan masih jauh. Daripada bengong, saya mencari bacaan di internet via gawai. Untuk menghindari kehabisan kuota internet ketika sedang asyik-masyuk, saya membeli paket internet.



Dengan memanfaatkan aplikasi Traveloka, saya bisa membeli paket internet kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu menunggu pramugari kereta lewat, karena belum tentu jual kuota juga. Selain itu, saya juga bisa beli pulsa di menu yang sama. Transaksi dijamin aman dan terpercaya sehingga pulsa pasti akan diterima. Pasti.




Caranya mudah. Cukup pilih nominal pulsa atau paket internet yang dimau. Lalu muncul detail produk yang menjelaskan masa aktif dan segala bonus yang didapat. Setelah mengisi detail pemesan, lanjut ke tahap review pesanan. Di sini nominal yang harus dibayarkan akan dikurangi oleh kode unik untuk memudahkan proses verifikasi. Sehingga pulsa atau paket data cepat sampai ke pemesan sesaat setelah dilakukan pembayaran. Tanpa perlu konfirmasi pembayaran segala. 



Saya perlu stok pulsa untuk kepentingan menelepon bapak saya untuk minta jemput ketika pulang nanti. Pulsa yang saya beli juga bisa dipakai untuk beli ebook di Play Store. #JadiBisa melawan kebosanan. Sebab saya tidak kehabisan bahan bacaan selama di kereta karena Traveloka.

Komentar

  1. Loh ternyata di Traveloka bisa beli pulsa,
    ko aku baru tahu haha,.
    kayaknya nanti kita bisa beli apapun dari Traveloka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cari jodoh bisa juga ya bang, ehm..

      Hapus
    2. Bisa. Beli pulsa dan paket internet untuk cari jodoh.

      Hapus
  2. Wah, jadi nambah pengetahuan tentang wisata kuliner disana. Boleh lah dicoba. Wih traveloka udah banyak fiturnya ya sama kaya gojek.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya semoga menambah referensi. Haha. Mantap lah Gojek-Traveloka.

      Hapus
  3. Iiiiiiiih jadi pengen lanjalan! :(

    Pengen ke Solo, Jogja, kangen makanan sanaaaa~

    BalasHapus
  4. Hahaha. Beliin sarung tangan aja lah buat naik motor.

    BalasHapus
  5. Cirebon: Nasi Lengko, Mie Koclok, Docang hmm, apa lagi yak .. Ayam Bahagia itu juga enak 👍

    BalasHapus

Posting Komentar