Kalau sekarang lagi viral kasus food reviewer yang diblacklist restoran, saya juga pernah se-savage itu ketika makan di luar. Saya pernah jadi sosok yang selalu ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan di tempat makan yang saya kunjungi.
Waktu itu bulan puasa, saya dan teman saya, Biru, memesan es campur di warung yang ramai pengunjung. Enak kali ya buka puasa pakai yang manis dan seger-seger.
Saya menyebutkan pesanan dan menunggu. Saya melihat pembeli-pembeli lainnya berdatangan. Sampai akhirnya, pembeli yang baru datang belakangan kok pesanannya datang duluan?
Belum cukup sampai situ, waktunya jam buka puasa telah dekat. Namun, tanda-tanda es campur datang belum terlihat. Perasaan saya jadi campur aduk. Saya dan Biru pun memutuskan untuk melakukan aksi ngambek dengan membatalkan pesanan.
“Nggak jadi ya Mas,” ucap saya dingin.
Lalu saya dan Biru keluar warung dan beli es teh di pinggir jalan untuk membatalkan puasa. Selesai melepas dahaga, kami lanjut jalan ke masjid Agung di mana motor saya diparkir.
Sewaktu mau pulang, saya kebingungan di parkiran. Kunci motor saya mana?
Saya pun bertanya-tanya dan mencari di mana-mana. Setelah buntu, saya merunut ke mana saja saya setelah parkir motor. Yang saya ingat tempat yang saya kunjungi adalah warung yang menjual es campur tadi. Jadi, saya harus kembali ke tempat yang telah saya tinggalkan dengan bertaruh rasa malu.
Saya bertanya ke pemilik warung es campur. “Misi, Mas, lihat kunci motor, nggak? Kayaknya ketinggalan di sini.”
Tanpa ba-bi-bu, beliau mengembalikan kunci motor saya yang ketinggalan. Tak lupa, dia pun berkata, “Oh ini yang tadi pesen es campur, extra ice, less sugar, pakai sedotan dan sendok, tapi nggak jadi karena nggak sabaran, ya?”
Saya malu.
Komentar
Posting Komentar